JAKARTA - Masalah di industri asuransi nasional seperti tak pernah usai. Mulai dari masalah premi sampai keagenan yang menjual produk. Paling baru adalah ribuan nasabah Asuransi AIA yang merasa tertipu dengan produk yang mereka beli.

Pasalnya tak ada penjelasan mengenai risiko yang mungkin ditemui di kemudian hari dari agen yang menawarkan. Para nasabah ini menyebut mereka hanya diiming-imingi potensi keuntungan. Peneliti INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan industri asuransi memang butuh perombakan secara besar-besaran.

Menurut dia hal ini karena paska-krisis 1998, fokus regulator banyak ke lembaga intermediasi keuangan seperti bank, sementara fokus ke pembenahan tata kelola asuransi relatif tertinggal.

"Itu yang membuat bom-bom atom di bisnis asuransi mulai meledak satu per satu, setelah AJB Bumiputera dan Jiwasraya," kata dia melansir detikFinance, Minggu (28/3/2021).

Dia menyebutkan pembenahan di bisnis asuransi bisa dimulai dari pengelolaan dana nasabah agar tidak menimbulkan fraud atau miss-management, misalnya pencegahan untuk masuk ke investasi yang risikonya tinggi.

Lalu terkait peran agen dan tanggung jawab perusahaan asuransi untuk melindungi calon nasabah dari miss-selling atau kesalahan pada saat penawaran produk.

Apalagi saat ini era digital di mana asuransi mengubah agen manual menjadi pendekatan berbasis online, maka pengawasan model penawaran produk asuransi menjadi urgen.

Terakhir adalah literasi keuangan yang menjadi tanggung jawab individu, perusahaan dan pemerintah sehingga calon nasabah mampu melindungi diri dari penipuan, miss-selling, dan bisa secepat mungkin melaporkan kejanggalan praktik asuransi kepada regulator.

"Kadang nasabah baru baca kontrak ketika ada masalah, pada saat tanda tangan perjanjian pembelian produk asuransi detil risiko dan legal nya tidak dibaca," jelas dia.

Managing Director Political Economy & Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan mengungkapkan dibutuhkan reformasi besar-besaran karena asuransi bukanlah produk yang murah.

"Banyak hal terjadi dan menimbulkan kerugian masyarakat, karena OJK kurang perhatian. Misalnya produk Jiwasraya bisa lolos selama 5 tahun dan juga kasus Asabri yang investasinya di saham bermasalah bisa bertahan lama," jelas dia.

Menurut Anthony memang saat ini juga banyak masyarakat yang tidak mengerti mengenai asuransi. "Biaya asuransi juga sangat tinggi dan besarnya biaya tidak terbuka sehingga masyarakat merasa dibohongi karena uangnya dipotong banyak," ujarnya.

Anthony menyebutkan jika mau dibandingkan dengan tingkat pengembalian asuransi dengan deposito atau tabungan lain, dalam waktu dekat asuransi pasti terasa rugi. Nah asuransi jiwa baru bisa teras untung kalau nasabah yang bersangkutan meninggal.

Karena itu harus ada supervisi dari OJK selaku regulator terkait berapa biaya yang normal. "Kalau produk Jiwasraya jelas produk yang mengandung risiko besar. Nasabah juga harus bisa menilai sendiri kalau ada produk 'tabungan' menawarkan bunga jauh lebih besar dari umumnya misal 10% maka harus hati-hati," tambah dia.