MENDENGAR kata akrobat biasanya kita teringat dengan pertunjukan sirkus atau badut yang mahir melempar bola-bola. Kita tertarik hingga terkesima melihatnya. Akrobat pada dasarnya adalah tindakan untuk penghiburan. Tetapi, bagaimana jika kata tersebut disematkan di depan kata politik? Jika disematkan dengan kata politik dapat berarti sebagai tindakan, perbuatan, atau ucapan politis yang berbeda dalam satu waktu yang hampir bersamaan. Seketika perasaan yang terhibur tadi berubah menjadi perasaan muak. Karena akrobat politik berlawanan dengan sikap mulia istiqamah.

Islam sangat meninggikan sikap istiqamah. Salah seorang Sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, katakanlah padaku tentang Islam dengan sebuah perkataan yang mana saya tidak akan menanyakannya kepada seorangpun selainmu. Rasul menjawab, “katakanlah: Aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.”

Istiqamah adalah kelurusan. Berpendirian tetap, tidak mudah diombang-ambing tendensi kehidupan. Tidak hanya dalam perkara ibadah ritual, pun dalam kehidupan bernegara hendaknya kita jangan menjadi pribadi yang antara kata-kata dan perbuatan seringkali jatuh bayang-bayang. Sayangnya, hal itu seringkali diperlihatkan oleh politisi di negeri kita ini. Sehingga di antara masyarakat terlanjur tertanam pandangan bahwa politik adalah arena bagi badut-badut politik mempertontonkan akrobat kepentingan.

Masyarakat Indonesia dibuat lupa bahwa politik yang dibawakan dengan kelurusan bukanlah dongeng belaka. dalam sejarah Indonesia, tokoh-tokoh seperti Mohammad Hatta, M. Natsir, Buya Hamka, membawakan politik dengan tampilan yang lurus dan sederhana. Tidak dibungkus oleh jargon-jargon canggih tapi miskin esensi seperti yang kini banyak dilakukan politisi di Indonesia.

Bagaimana politik dalam pandangan Islam? Literatur Islam menyebut politik sebagai siyasah. Tidak hanya mengatur ritual ibadah, Islam turut mengatur aspek sosial, baik masyarakat, negara, maupun tata pemerintahan. Hingga ke dalam urusan politik, sunnah Rasul dan para sahabatnya telah memberi petunjuk. Lalu bagaimana Rasul dan sahabat berpolitik?

Sabda Rasulullah, “...barangsiapa di pagi hari tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin, maka, Ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin).” Benar jika orang-orang menganggap politik adalah kepentingan. Tetapi, itu baru sebagian dari kebenaran. Mari kita sama-sama menormalisasi bahwa politik bukanlah aktivitas demi kepentingan pribadi. Tetapi, politik adalah perjuangan (mujahadah) demi kepentingan umat seperti yang disabdakan Nabi tadi.

Selama ini politik sebagai kepentingan pribadi telah menjadi sesuatu yang ‘taken for granted’. Hal yang biasa dan sudah semestinya. Padahal, perlakuan seperti itu dapat dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa. Mengapa? Karena ia menggunakan sumber daya luar biasa besar dan berhenti pada tujuan segelintir orang padahal potensinya mencapai masyarakat luas.

Berapa banyak orang yang kesempatannya tertutup? Berapa banyak anak yang potensinya untuk menjadi orang hebat dan berkontribusi bagi negeri akhirnya kandas? Berapa banyak fakir miskin yang mati kelaparan karena bantuan sosial yang tidak diterimanya? Itu semua karena didahului oleh akrobat kepentingan.

Karena itu, setiap warga negara perlu mulai dibangun kesadarannya bahwa menggunakan politik sebagai kendaraan pribadi adalah kejahatan luar biasa. Itu merupakan anomali yang tidak dapat diterima di masyarakat. Mulailah membangun kesadaran bahwa politik adalah aktivitas mengatur kepentingan rakyat banyak. Khususnya bagi umat Islam, karena makna siyasah itu sendiri adalah “sasa-yasusu-siyasatan”, mengatur, memimpin, memerintah rakyat.

Maka, cukuplah apa yang disabdakan Nabi SAW, “Adalah Bani Israil, mereka diatur oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi wafat, Nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada Nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah.” Para khalifah ini, yang dalam konteks pemerintahan modern adalah para pemimpin yang datang dari kalangan politisi, harus diberi landasan moral politik yang benar: bahwa siyasah adalah mengatur kepentingan rakyat, bukan mengatur kepentingan diri. Yang menurut Imam an Nawawi adalah usaha menegakkan sesuatu dengan apa-apa yang bisa memperbaiki sesuatu itu. Para khalifah kontemporer diberi beban tanggung jawab memperbaiki rakyat dari kondisi yang buruk menuju kondisi yang baik.

Jadi, bagi fungsionaris partai, tujuan utama dia bukanlah membesarkan partai. Saat mereka terpilih sebagai anggota dewan, fungsi utama mereka bukanlah menyalurkan kepentingan partai. Begitu pula dengan para pimpinan eksekutif. Tujuan utama bukanlah membesarkan pemerintahan, apalagi sekadar kekuasaan dan kemakmuran diri. Risalah kenabian telah jelas, dan kompatibel dengan amanat konstitusi: tujuan utama bernegara adalah menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.

Jangan menjadikan politik sebagai gajah-gajah yang membawa Abrahah untuk menghancurkan Ka’bah. Abrahah adalah model sempurna seorang pemain akrobat. Dia bermohon kepada Raja Abessinia untuk menghancurkan Ka’bah demi kejayaan agamanya. Meski motif sebenarnya adalah ekonomi kawasan. Abrahah dengki karena wilayahnya kalah pamor oleh Kota Makkah, sehingga perputaran ekonomi di wilayahnya mandek. Cukup aneh karena meskipun telah berlalu ribuan tahun, hingga kini dalih agama masih sering digunakan para akrobat untuk motif ekonomi.

Sebaliknya, Mohammad Hatta, proklamator, wakil presiden pertama Republik Indonesia, menjadikan politik sebagai alat perjuangan. Meski beliau pernah menjadi orang nomor dua di pemerintahan Republik Indonesia, menjelang akhir usianya beliau bahkan kesulitan membayar rekening listrik rumahnya. Ini sangat berbeda dengan prototipe pejabat zaman sekarang yang selesai menjabat telah berkelimpahan harta. Ia pernah bersumpah untuk tidak menikah sebelum rakyat Indonesia merdeka. Dan benar, Ia menikah setelah Indonesia merdeka. Ini adalah simbol kelurusan seorang politisi yang percaya politik bukanlah akrobat kepentingan. Tetapi, politik adalah sekadar satu dari sekian jalan untuk berbuat kebajikan kepada orang banyak.

Terakhir, para khalifah kontemporer patut merenungkan perkataan Imam al Ghazali: “Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar, seperti dua saudara yang lahir dari perut yang sama.” Maksudnya adalah politik kekuasaan berkesesuaian dengan agama. Jika asas moral dalam agama memandang buruk perilaku akrobat politik, maka, Anda yang biasa menggunakan jargon agama dalam politik, punya hak lebih besar untuk tidak berakrobat dalam politik. ***

* Mohammad Ali Dosti adalah seorang PNS Pemkab Pelalawan.