JAKARTA - Ketinggian tsunami di Selat Sunda pada 22 Desember 2018 lalu mencapai 13,4 meter. Demikian menurut hasil survei yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 26 hingga 30 Desember lalu.

Dikutip dari tribunnews.com, ahli tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Abdul Muhari mengungkapkan hasil survei tersebut ketika dihubungi Senin (31/12/2018).

''Tinggi rayapan tsunami yang mencapai 13,4 m dihitung dengan menggunakan alat pengukur jarak horizontal dan vertikal (automatic laser finder dan GPS) mulai dari bibir pantai sampai di titik tertinggi bekas/jejak tsunami terlihat,'' kata Abdul melalui pesan singkat.

''Jejak tsunami ini bisa berupa batas genangan air, jejak sampah yang terbawa tsunami di dinding tebing atau tanah,'' imbuhnya.

Selain tinggi rayapan tsunami, Abdul mengatakan ada beberapa data lain yang didapatkan dari survei tersebut.

''Data tinggi rendaman tsunami (flow depth), tinggi rayapan tsunami (run-up) dan jarak landaan tsunami ke darat (inundation distance),'' tutur Abdul.

''Data ini sangat penting untuk menentukan karakteristik dari tsunami,'' sambungnya.

Masih dalam unggahannya, Abdul juga menjelaskan mengenai dampak yang terjadi di bagian selatan Pandeglang. Dia menuliskan dampak parah yang terpusat di wilayah itu mengindikasikan konsentrasi energi tsunami.

Fenomena ini berbeda dengan wilayah Anyer utara dan Cilegon. Dalam unggahan tersebut, Abdul menggatakan bahwa keberadaan pulau-pulau kecil di sekitar Anak Krakatau mungkin mempengaruhi penyebaran energi tsunami tersebut.

Selain itu, perbedaan tingkat tanah juga berpengaruh terhadap dampak tsunami. ''Wilayah Pandeglang bagian selatan mengalami dampak yang lebih besar karena struktur pantai berupa pantai tertebing sehingga rayapan tsunami lebih tinggi,'' ujar Abdul.

''Sedangkan di Anyer-Carita ke arah utara daratan lebih landai sehingga tinggi rayapan tsunami lebih rendah tapi masuk ke darat lebih jauh,'' tegasnya.

Meski begitu, Abdul mengatakan bahwa masih belum diketahui mekanisme tsunami yang terjadi Sabtu malam tersebut.

Para peneliti saat ini masih mencoba mencari tahu penyebab bencana yang terjadi dengan mendokumentasikan dampaknya.***