MEDIA massa memiliki peranan sentral dalam kehidupan masyarakat demokratis. Selain sebagai sarana informasi pada publik, media massa juga menjalankan fungsi ekonomi, kontrol sosial, menghibur dan edukasi pada masyarakat. Hal itulah yang membuat media massa menjadi penting untuk dipastikan dapat menjalankan peranannya sehingga turut serta memberikan kontribusi dalam membangun bangsa ( UU Pers No. 40 Tahun 1999). Bahkan, begitu kuatnya posisi media massa telah membuatnya diperhitung sebagai salah satu kekuatan politik keempat selain Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif..

Pertumbuhan media massa secara nasional berkembang pesat pasca Orde Baru. Dicabutnya sejumlah kebijakan represif dalam kerangka pengawasan media massa seperti mekanisme sensor dan pembredelan, telah membuka kran bagi munculnya wajah baru media massa dalam semangat kebebasan pers. Media massa cetak maupun elektronik menjamur bak cendawan di musim hujan baik dalam skala nasional maupun daerah.

Namun demikian, perkembangan ini dihadapkan pada realitas adanya kondisi objektif yang tidak sama antar daerah. Pada level nasional, infrastruktur serta sumber daya manusia sangat mendukung perkembangan media massa. Kondisi ini tidak dirasakan di sejumlah daerah, terutama kawasan perbatasan maupun daerah dengan intensitas konflik sosial yang tinggi. Hal ini tentu berpengaruh terhadap optimalisasi fungsi media massa sebagai salah satu aset nasional yang penting bagi pembangunan bangsa.

Tantangan Media Massa

Pemerataan menjadi salah satu isu pembangunan di Indonesia. Selama ini Ibukota negara, kota-kota besar terutama di Jawa menjadi pusat pembangunan. Sementara itu, wilayah luar Jawa, seperti halnya kawasan Timur, terutama wilayah perbatasan justru dalam kondisi yang masih terbelakang. Wilayah perbatasan identik dengan minimnya infrastruktur pembangunan seperti transportasi, kesehatan, pendidikan, sosial, komunikasi dan lainnya. Persoalan ini ditambah dengan sumber daya manusia yang terbatas dan minimnya perhatian pemerintah di tingkat lokal terhadap isu-isu perbatasan.

Permasalahanperbatasan berbanding lurus dengan tantangan media massa seperti minimnya infrastruktur komunikasi bagi transmisi informasi. Bahkan, sejumlah wilayah perbatasan di Indonesia tidak bisa dijangkau oleh media massa asal Indonesia, semisal wilayah Sungkung, Bengkayang, Kalimantan Barat yang sebelumnya didominasi oleh siaran berita dari media massa asal Malaysia. Sumber daya manusia yang mengelola media massa juga belum memadai sehingga berdampak pada kemampuan jurnalistik para awak media serta prospek perkembangannya dalam konteks bisnis komersil. Begitupula dengan segmentasi masyarakat yang kritis sehingga dapat mengawasi objektifitas media massa selain potensi sikap partisan media massa.

Media massa di perbatasan diharapkan mampu mengambil peranan di tengah permasalahan perbatasan dengan menjembatani komunikasi dan kebutuhan informasi masyarakat, kontrol sosial terhadap kebijakan sekaligus mempromosikan nilai-nilai yang bersifat nasional. Media massa di perbatasan menjadi faktor integratif karena telah memutus isolasi interaksi antar masyarakat dan menghubungkannya dengan berbagai dinamika sosial dalam suatu pola nasional sebagaimana dijelaskan oleh Myron Weyner (1968). Keterikatan dan identitas sosial sebagai suatu kesatuan bangsa dengan demikian dapat terbangun. Hal itulah yang disebut oleh Mochtar Lubis sebagai peran pemersatu yang dijalankan oleh media massa di negara-negara berkembang.Media massa juga menghadapi tantangan nyata di wilayah konflik dimana pada umumnya terjadi di wilayah yang minim pembangunan. Kompleksitas sosial berpadu dengan tekanan ekonomi telah meningkatkan ketegangan sosial yang berujung pada konflik sosial ketika ada faktor pemicunya. Persoalan politik dan SARA kerap ikut memperkeruh suasana dan mengeskalasi konflik yang lebih besar. Dalam situasi konflik sosial, media massa dituntut netralitas dan objektifitasnya dalam pemberitaan. Informasi-informasi yang disampaikan harus berkontribusi terhadap upaya rekonsiliasi di antara kelompok sosial yang bertikai dan menghindari pemberitaan yang justru dapat memprovokasi masyarakat. Hal itu dapat dilakukan jika para pemilik media massa dan jurnalisnya dapat menegakan prinsip dan etika jurnalistik yang benar tanpa berpretensi membela kepentingan politik atau kelompok tertentu yang acapkali berada di balik konflik sosial.

Memang tugas media massa bukanlah perkara mudah. Selain sebagai kekuatan bisnis, media massa memiliki tanggungjawab sosial yang besar, baik untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa, maupun mendorong terciptanya keamanan dan tertib sosial yang penting bagi pembangunan nasional, terutama bagi wilayah perbatasan dan daerah konflik. Karena itulah seluruh stakeholder yang terkait dengan upaya untuk meningkatkan perkembangan media massa sebagai salah satu aset nasional perlu untuk turut serta mengupayakan langkah-langkah yang mendukung bagi pengembangan media massa.

Solusi Alternatif

Berbagai terobosan perlu dilakukan untuk mengatasi kendala perkembangan media massa di kawasan perbatasan maupun daerah rawan konflik sosial. Beberapa langkah yang dapat ditempuh di antaranya :

Pertama, perlunya mempromosikan kebangkitan media massa komunitas sebagai alternatif dari langkanya media massa lokal maupun media nasional yang dapat menembus wilayah perbatasan maupun daerah konflik. Karakteristik kedua wilayah ini seringkali dianggap tidak cocok bagi investasi di bidang industri media massa sehingga pertumbuhannya kurang berkembang. Selain itu, daya dukung pemerintah dianggap belum memadai sebagai insentif dalam pengembangan media massa swasta. Karena itu, media massa komunitas, sepertihalnya radio komunitas dapat menjadi alternatif bagi masyarakat untuk berinteraksi, berbagi informasi dan mempromosikan nilai-nilai yang mendukung pengembangan masyarakat. Dalam konteks itu, pemerintah perlu mendorong pembangunan infrastruktur yang mendukung pertumbuhan media massa komunitas serta memberikan pendampingan agar media massa komunitas ini tidak terjebak dalam sektarianisme serta mengembangkan pemahaman-pemahaman sempit yang justru dapat memicu segregasi sosial.

Kedua, perlunya peran fasilitasi yang dilakukan pemerintah dalam kegiatan-kegiatan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas profesional para awak media seperti pelatihan jurnalistik, baik reportase, penulisan berita maupun kode etik yang harus ditaati. Hal ini penting agar para awak media menyadari bahwa media massa tidak hanya sekedar memberitakan suatu peristiwa saja tetapi terikat dengan etika jurnalistik dan memiliki tanggungjawab sosial atas dampak yang ditimbulkan dari informasi yang ditransmisikannya.

Ketiga, pelatihan juga perlu diberikan pada para pebisnis lokal agar mampu melihat dan memanfaatkan kesempatan untuk berinvestasi di bidang industri media massa secara profesional. Kalangan pebisnis lokal selama ini banyak melihat bahwa investasi di bidang media massa dianggap belum memberikan keuntungan sehingga banyak media massa karbitan yang tumbuh dan berkembang bukan karena dikelola secara profesional, tetapi usaha-usaha di luar fungsi utama media massa.

Keempat, pemerintah perlu memprioritaskan pembangunan infrastruktur komunikasi di daerah perbatasan guna mengatasi keterisolasian masyarakat dari masyarakat lain. Hal ini penting guna menumbuhkan pengetahuan dan kesadaran bersama tentang ke-Indonesiaan melalui berbagai informasi yang di dapat dari media massa nasional maupun lokal. Infrastruktur ini penting sehingga dapat minimal mengimbangi penetrasi media massa negara lain yang selama ini mendominasi sejumlah wilayah perbatasan Indonesia. ***

Erlangga Pratama adalah alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia. Direktur Eksekutif Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia.