MEDIA sosial (social media) merupakan terobosan besar dalam tekhnologi komunikasi massa yang mempengaruhi pola interaksi sosial masyarakat. Perpaduan antara kecanggihan tekhnologi dan sosiologi telah mengubah pola monolog (one to many) menjadi dialog (many to many), para pembaca konten menjadi penerbit konten. Studi Fowler & Christakis (2008) menyebut salah satu kekuatan dari sosial media ini terletak pada social network (jaringan sosial) antara dua elemen, yakni individual (nodes) dan hubungan sosial (relationship). Interkoneksitas antar individu beserta lingkungannya menjadi demikian intens dan cepat melalui jaringan virtual. Begitu kuatnya pengaruh media sosial hingga memungkinkan seseorang mengambil keputusan berdasarkan preferensi yang dibentuk oleh dunia maya.

Gambaran di atas menunjukan begitu besarnya pengaruh yang ditimbulkan oleh media sosial dalam kehidupan nyata sehari-hari. Hal itulah yang membuat media sosial menjadi instrumen yang strategis bagi berbagai kepentingan, seperti bisnis, sosial, termasuk pula masalah politik. Konten yang ditransmisikan oleh media sosial memberi andil besar dalam membentuk persepsi, perilaku dan orientasi individu dalam merespon setiap peristiwa. Karena itulah, penggunaan media sosial memerlukan kedewasaan sekaligus sikap kritis sehingga dapat menilai dan memetik manfaat yang bersifat positif.

Alat Propaganda

Perkembangan penggunaan media sosial telah menjadi fenomena dunia, termasuk Indonesia. Bahkan, media sosial telah memainkan peranan penting dalam peristiwa-peristiwa politik, seperti dalam pemilu maupun pilpres. Kerangka regulasi yang belum memadai untuk mengatur penggunaan media sosial sebagai alat kampanye telah memberi ruang yang luas bagi setiap individu untuk mengeksploitasi pemanfaatan media sosial dalam kepentingan politik, termasuk black campaign atau propaganda politik.

Propaganda politik melalui media sosial yang cukup menghebohkan jagat perpolitikan Indonesia adalah munculnya orbituary RIP Jokowi melalui jejaring media sosial seperti Twitter maupun Facebook beberapa waktu yang lalu (7/5/14). Sebagaimana sifat dari propaganda politik yang memang dimaksudkan untuk mendistorsi informasi, menciptakan keresahan massa, dan provokatif, orbituary itu telah memancing berbagai reaksi publik serta menciptakan kegaduhan politik yang tidak perlu.

Analisis spekulatif kemudian berkembang. Kelompok pro Jokowi menuduh berita itu disebarkan oleh lawan-lawan politiknya guna menjatuhkan kredibilitas Jokowi. Asumsinya, penggantian nama Joko Widodo dengan nama Ir. Herbertus Joko Widodo beserta nama alias Oey Hong Liong sangat mungkin bermotifkan pembangkitan sentimen yang bersifat SARA. Munculnya sentimen SARA ini tentu akan merugikan Jokowi yang sedang giat-giatnya kondolidasi dukungan dari berbagai pihak.

Sementara itu, pihak oposisi Jokowi menyatakan bahwa berita itu sengaja ditebar oleh kelompok pendukung Jokowi sendiri guna mengambil posisi sebagai korban serangan politik yang tidak bermartabat. Posisi korban inilah yang kemudian akan dieksploitasi sebagai isu untuk menarik simpati massa. Bahkan, analisis spekulatif ini mencoba mengkaitkan berita RIP Jokowi sebagai modus operandi yang sama dengan isu ancaman bom dan penyadapan yang menimpa Jokowi. Mereka menuduh bahwa hal itu disengaja guna mengeksploitasi posisi sebagai korban (playing victim). Namun, asumsi apapun yang digunakan, tetap tidak bisa menjelaskan kredibilitas sumber informasi serta perlu dikaji lebih jauh apakah benar isu itu mewakili pandangan politik pribadi pihak-pihak yang bersaing langsung dalam pilpres.

Gaya propaganda seperti ini sebetulnya bukan hal yang baru. Seringkali dalam berbagai momentum politik bertebaran konten berita melalui jaringan media sosial. Celakanya, banyak pelaku menggunakan akun anonim guna menghilangkan jejaknya sehingga sulit dimintai pertanggungjawaban atas validitas informasi dan dampak yang ditimbulkannya. Agaknya tepat jika para pelaku itu identik dengan yang pepatah katakan, “lempar batu, sembunyi tangan”.

Akuntabilitas dan Sikap Kritis

Dalam situasi yang simpang siur itu, analisis yang bersifat spekulatif muncul dan ikut menggaduhkan suasana. Berbagai analisis spekulatif itu bisa saja benar jika menggunakan pendekatan konspiratif. Keberpihakan politik kemudian akan menentukan analisis manakah yang akan digunakan. Karena itu, kekritisan individu dan masyarakat sebagai pengguna media sosial menjadi determinan dalam menentukan apakah konten tersebut dianggap kredibel dan layak untuk dikonsumsi. Setiap individu harus mengembangkan kemampuan untuk menseleksi informasi yang diterima dan mengkategorisasikan informasi itu sesuai dengan kepentingan yang lebih luas.

Harus diakui bahwa kemajuan tekhnologi yang telah menghadirkan media sosial berkontribusi penting bagi peradaban manusia. Apakah keberadaan media sosial akan memberikan manfaat positif atau justru merusak masyarakat pada akhirnya tergantung pada sikap para penggunanya. Jika para pengguna media sosial lebih banyak memanfaatkan untuk propaganda politik, saling menyerang dan menjatuhkan, maka tidak menutup kemungkinan bahwa masyarakat justru akan semakin antipati dan media sosial hanya akan ikut memicu munculnya gejolak sosial di masyarakat.

Selayaknya manusia yang beradab, maka setiap individu dituntut untuk dapat memanfaatkan media sosial bagi hal-hal yang positif dan membangun. Melalui media sosial hal penting dapat dikembangkan, seperti jaringan komunikasi antar masyarakat dapat terjadi secara intensif di tengah persoalan infrastruktur yang terbatas. Pertukaran informasi dan pengalaman dapat menjadikan masyarakat semakin terkoneksi dengan baik. Media sosial juga dapat menjadi sarana hiburan dan mendidik bagi masyarakat.

Dalam konteks itulah maka sikap dewasa, cerdas dan bertanggungjawab mustinya dikembangkan agar pemanfaatan media sosial menjadi lebih konstruktif bagi kepentingan bangsa. Selain itu, perlu semacam regulasi atau ketentuan agar para pengguna media sosial memenuhi ketentuan registrasi yang jelas sehingga dapat divalidasi pemilik akun. Hal ini penting mengingat Indonesia merupakan salah satu negara terbesar pengguna media sosial dengan akun anonim terbanyak. Ketentuan tersebut tidak untuk membatasi atau sensor aktivitas media sosial, tetapi guna melindungi masyarakat dari paparan informasi yang menyesatkan dan dapat memecah belah masyarakat.

Erlangga Pratama, MSi adalah pengamat masalah komunikasi massa, alumnus pasca sarjana UI dan Direktur Eksekutif Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia.