SELATPANJANG - Pakar lingkungan DR Elviriadi MSi menilai kondisi sejumlah kawasan konservasi di Riau sangat memprihatinkan. Salah satunya Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Pelalawan yang terus dirambah dan polemik pemangkuan kawasan.

Kata Elviriadi, acuan pengelolaan wilayah ini kan sesuai UU No 5/1990 sebagai pelestarian ekosistem asli. Dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, menunjang budidaya, dan terutama fungsi kawasan tangkapan air dan pencegahan Karhutla.

Selain itu, tambah dosen UIN Suska Riau ini lagi, di TNTN Pelalawan perambahan hutan yang tinggal 20.000 Ha tersebut diikuti perburuan satwa langka, dan konflik dengan penduduk. Itu semua terjadi akibat adanya klaim lahan.

"Hal lain adalah adanya pembangunan infrastruktur antara lain jalan untuk HTI, jalan Pemda, jembatan maupun instalasi lainnya yang membuat TNTN terfragmentasi (terpotong, red) sehingga open akses," kata Elviriadi. 

Menurut Elv, Balai perlu membentuk task force yang berkaitan dengan klaim ataupun pengaduan masyarakat. Agar cepat ditangani dengan mengedepankan sosiologis dan validitas dokumen.

Selain itu, dibutuhkan upaya membangun rekayasa kultural seperti desa/ 'komunitas konservasi' dengan Funding internasional/ NGO di tepian taman nasional agar penduduk tempatan memiliki sense of belonging.

Dikatakan Elv lagi, setidaknya ada 3 (tiga) langkah yang mendesak dilakukan sebelum terlambat.

Pertama untuk mengetatkan kontrol TNTN harus membentuk resort (unit ditingkat tapak).

"Berkurangnya hutan di sana kan sajak dulu karena minim penjagaan, nah itu kita perketat," ungkap Ketua Departemen Perubahan Iklim KAHMI Nasional itu.

Kedua, pembuatan Rencana Pengelolaan (RP) kawasan konservasi harus valid dan berbasis data up date. Ajak ahli/ pakar untuk menakar tipologi masalah serta potensi yang bisa dikembangkan di TNTN. Dari situ baru ditentukan RKL dan RKT yang qualified.

Sedangkan yang ketiga, bagaimana membangun kesepahaman dengan Pemda setempat, yang selama ini merasa kawasan konservasi adalah wewenang pusat. Pemda tidak meresa perlu ikut menjaga dan memelihara.

Kalau sudah begitu dinilai akan lebih susah. Oleh karenanya, leadership BBKSA/ Balai penting untuk membuat inovasi sesuai dinamika yang berubah. Juga untuk mengadopsi hasil up date data spasial, hasil riset agar ke depan base on scientific management.

"Kalau dibiarkan kerusakan TNTN itu, maka titik api merata lagi di Riau. Lalu akan ada 'bonita' 'bonita lain menerkam penduduk akibat habitat satwa musnah," tandas anak jati Meranti itu di akhir ngobrol-ngobrol dengan GoRiau, Rabu (21/3/2018). **