PEKANBARU - Tiga orang mahasiswa Universitas Riau, yakni Rafli Andifa Hasan, Fikri Aditya Prayoga, dan Ilham Azanno Akbar mempunyai ide dan gagasan yaitu Sielang Drone. Drone ini berfungsi untuk langkah pencegahan awal mula penyebaran titik api dalam upaya memberantas lebakaran Hutan dan Lahan. 

Ide ini bisa di tonton di link youtube berikut ini https://bit.ly/sielang

Salah seorang mahasiswa, Rafli mengatakan, dengan ide ini ia dan rekan-rekannya berharap semoga cepat terealisasi untuk menjawab permasalahan kebakaran hutan dan lahan di indonesia, terutama di wilayah Provinsi Riau.

Tentunya ide ini membutuhkan support berbagai pihak, yaitu pemerintah, kelembagaan terkait dan masyarakat tentunya.

GoRiau Tiga mahasiswa penggagas Siela
Tiga mahasiswa penggagas Sielang Drone.

Terobosan ini akan menggunakan sistem drone tanpa awak dan telah dimodifikasi pakai kamera infrared yang berfungsi untuk mendeteksi titik api.

"Ini juga dilengkapi dengan racun api yang berfungsi sebagai pemadam titik api tersebut," kata Rafli kepada GoRiau.com, Jumat (2/10/2020).

Gagasan mereka ini juga akan bekerjasama dengan 'lapan: fire hotspot' yang mana merupakan pusat informasi bila ada titik api. Ketika mendapat info tersebut, drone akan bergerak langsung ke arah TKP untuk memadamkan api.

"Ini akan mempersingkat pemadaman di titik api karena dia lebih cepat daripada mobil damkar yang sulit menerobos medan Karhutla maupun helikopter," tambahnya.

Diceritakan Rafli, Covid-19 dan Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla), sama-sama membuat masyarajat terpaksa untuk memakai masker, karena kedua kasus ini menyerang paru-paru kita dan juga berkaitan dengan hubungan manusia terhadap lingkungan.

Seperti yang diketahui, saat ini semua pihak sedang berjuang melawan covid-19, maka dia berharap supaya karhutla tidak datang lagi pada tahun ini. Karena menurut Nasa dan Copernicus Atmosphere Monitoring Service tahun 2020, kebakaran hutan dan lahan di berbagai negara pada tahun 2020 di prediksi akan jadi yang terburuk selama 18 tahun terakhir.

Karhutla di Negara bagian New South Wales, Australia, kawasan Arktik Siberia, wilayah Pantai Barat Amerika Serikat, dan lahan basah Pantanal di Brazil merupakan yang terburuk dalam 18 tahun terakhir. 

Catatan itu merujuk pada data Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) dan lembaga penyedia data atmosfer, Copernicus Atmosphere Monitoring Service. Lalu bagaimana dengan Indonesia?.

Periode Karhutla di Indonesia sebenarnya sudah dimulai beberapa bulan lalu dan sudah terjadi di beberapa wilayah, antara lain Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Jambi, dan Provinsi Riau. 

Menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Riau, Edward Sanger, menyampaikan,  terjadi penurunan Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di Riau sebanyak 56,5 % yaitu sebanyak 15.300 ha dibandingkan Tahun 2019.

Memang, pada periode Juli-Oktober merupakan bulan yang rawan terjadi karhutla.

Dari data pencitraan satelit Terra/Aqua jumlah hotspot/titik panas (dengan tingkat kepercayaan >=80%) selalu menunjukkan peningkatan pada Juli dan mencapai puncaknya pada Agustus-September.

Menurut Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada tahun 2019 lalu, titik panas Karhutla sepanjang 1-18 September 2019 telah terdeteksi sebanyak 10.574 titik, terbanyak dibanding bulan-bulan sebelumnya. 

Sepanjang 2019, hotspot yang telah terdeteksi mencapai 17.774 titik, melonjak lebih dari 86% dari total tahun sebelumnya. Jumlah hotspot tahun ini juga merupakan yang tertinggi sejak 2016.

Data KLHK mencatat luas karhutla dari Januari hingga September 2019 sebesar 857.756 ha dengan rincian lahan mineral 630.451 ha dan gambut 227.304 ha.

"Hal ini menyatakan kebakaran hutan di Indonesia tiap tahun mengalami peningkatan, ini berdampak ke beberapa sektor, dari seri segi ekonomi, kesehatan dan lain-lain," tuturnya.

Plt Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat BNPB, Agus Wibowo pada tahun 2019 silam, lanjut Rafli, memprediksi kerugian materi yang diakibatkan dari Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia ditaksir mencapai Rp.66,3 triliun.

Sedangkan dari segi kesehatan, jumlah penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) hingga September mencapai 919.516 orang.

"Maka dari akibat yang terjadi pada tahun 2019, tentunya kita semua tidak mau terjadinya karhutla pada tahun ini dikarenakan covid-19 yang belum tuntas di selesaikan, karhutla akan memperburuk kesehatan masyarakat yang sama kita ketahui bahwa covid-19 dan karhutla sama-sama penyakit gangguan pernafasan," tutup Rafli yang juga Koordinator Riset Independent Democrasy ini.***