IJINKAN saya berkomentar soal masalah “belanja APBN di masa kampanye” yang bisa berakibat pada ketidaknetralan pemerintah sebagai penanggungjawab pelaksanaan pemilu yang sekaligus petahan. Sudah lazim dalam dunia politik, kebijakan fiskal (APBN) menjelang pemilu akan menunjukkan pola yang cenderung berbeda dari tahun sebelumnya.

Alokasi dana dalam bentuk Cash Transfer/Block Grant akan membengkak jumlahnya di tahun politik. Oleh pemerintah alasan membengkaknya dana segar ini bisa dibuat macam-macam, tetapi tidak akan bisa membantah hubungan dana segar tersebut dengan kepentingan petahana menghadapi pemilu.

Studi dibeberapa negara demokrasi mengenai isu ini sudah banyak. Bahwa intervensi fiskal melalui (Conditional) Cash Transfer (CTC) dapat mempengaruhi perilaku pemilih dikalangan penerima bantuan. Ini dapat dimengerti dengan mudah.

Tetapi yang jelas, intevensi fiskal ini menjadi potensi modal kampanye bagi petahana untuk terpilih kembali. Dan ini tidak dimiliki oleh kubu oposisi. Kubu oposisi tidak mengontrol anggaran karena itu di tangan presiden.

Dalam konsteks Indonesia ada penelitian bagus yang dilakukan oleh Semeru Research Institute, (Assesing the Political Impacts of Conditional Cash Transfer: Evidence from a Randomized Policy Experiment, 2014). Temuan menyebutkan bahwa program CCT mampu meningkatkan suara anggota legistaltif dari partai yang mendukung presiden (incumbent), meningkatkan kepuasan calon pemilih terhadap pemerintah daerah tetapi disaat yang sama mengurangi level kompetisi diantara kandidat presiden.

Dari hasil penelitian ini jelas sekali ada 3 catatan bahwa (1) intervensi fiskal dalam bentuk dana segar sangat erat berkaitan dengan pemilu. (2) dibanding partai oposisi, partai petahana akan sangat diuntungkan (terutama yang mampu memegang kendali pos dana segar ini). (3) Level persaingan kandindat presiden semakin rendah atau tidak kompetitif karena petahana punya potensi sumber daya kampanye yang jauh lebih besar dibanding oposisi. Ini masalahnya.

Lalu kita lanjut dengan fakta-fakta APBN 2019. Sebelumnya harus kita garisbawahi bahwa Seluruh dana yang keluar masuk melalui mekanisme APBN, adalah uang rakyat. Bukan milik golongan apalagi individu. Ini harus diumumkan terbuka. Tetapi mekanisme penganggaran dalam sistem politik kita masih sangat (executive heavy), lebih banyak dirancang dan dikontrol oleh eksekutif, walaupun ketuk palunya ada di parlemen. APBN ADALAH UU yang hanya boleh diusulkan eksekutif.

Kelemahan sistemik ini akhirnya melahirkan kecenderungan eksekutif untuk bertindak secara personal. Misalnya dengan membuat persepsi ke masyarakat bahwa kerja-kerja eksekusi anggaran adalah kerja-kerja Presiden sebagai person yang kebetulan juga kandidat presiden dalam pemilu.

Selanjutnya di otak-atik lah anggaran yang relevan dengan tujuan meraup elektabilitas pemilu, jumlahnya dinaikkan atau jenisnya diperbanyak agar rakyat dapat menerima jasa dan cash dalam jumlah yang signifikan menjelang pencoblosan.

Kalau kita cermati APBN 2019, setidaknya ada 4 pos anggaran yang masuk kategori potensi dana yang bisa meraup elektabilitas petahana. (1) Dana Desa, (2) Dana Kelurahan, (3) Dana Bansos PKH, (4) Dana Bantuan Kemasyarakatan Presiden.

Dana Desa

Dana Desa dalam APBN 2019 dipatok 70 Triliun, naik 10 T dari tahun sebelumnya yang hanya 60 T. Kita tahu, dana desa ini efektif sebagai lumbung suara. Makanya di dalam internal koalisi pemerintahan saja tarik-menarik antar parpolnya kuat.

Siapa yang bisa mengontrol dana segar ini, efek elektabilitasnya pasti tinggi. Apalagi menjelang pemilu ini alokasinya naik 10 T. Perlu diberitahukan kepada pemilih bahwa dana ini lahir akibat UU No. 6 tahun 2014 yang lahir dalam masa presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Dana desa memang paling nampak hasilnya, meski masih ada penyimpangan tetapi UU adalah inisiatif pemerintah dan DPR RI periode 2009-2014, untuk melakukan otonomi Tingkat ke-3 di lebih 73 ribu desa di nusantara kita.

Dana Kelurahan

Satu pos anggaran baru dari APBN 2019 adalah Dana Kelurahan, masuk dalam kategori Dana Alokasi Umum (DAU) tambahan, sebesar 3 T. Jika dibagi dengan 8.212 kelurahan yang ada di Indonesia, kira-kira per kelurahan akan dapat 365 juta cash. Karena bersifat alokasi umum, maka ini bisa juga disebut dana taktis dan segar.

Tahun lalu belum ada, baru menjelang pemilu 2019 ini saja alokasi ini muncul. Karena sudah ada dalam APBN, maka ini uang negara, uang rakyat dan hak rakyat. Harus diawasi. Tetapi jelas sekali rentan dimanfaatkan untuk kepentingan elektabilitas pemilu oleh petahana. Coba cek dilapangan, karena skenarionya per 1 Januari 2019 dana ini sudah bisa cair. Pencairan dikebut! Motif pencairan akan nampak saat penggunaan.

Dana Bansos PKH

Dana Bansos Program keluarga Harapan (PKH) dibawah Kemensos juga naik secara signifikan. Tahun lalu hanya 19 T, menjelang pemilu ini (2019) naik menjadi 38 T (hampir 2 kali lipat). Kenaikan ini tentu dapat dicurigai terkait pemilu 2019.

Padahal jumlah penerimanya sama yaitu (10 Juta keluarga). Jika tahun lalu pencairan PKH ini dilakukan bulan Februari, Mei, Agustus, November. Tahun 2019 dimajukan jadi Januari, April, Juni, Oktober. Sblm 17 April ada 2 kali pencairan, padahal tahun lalu hanya 1 kali. AWASI!

Dana Bantuan Kemasyarakan Presiden

Banyak orang yang tidak tahu bahwa setiap Presiden kita bertemu dengan rakyatnya, oleh APBN dibekali 'uang saku' berupa dana bantuan kemasyarakat presiden. Dulu di sebut Banpres. Jumlahnya sangat signifikan.

Tahun 2019 ini Presiden bersafari menyapa wong cilik dibekali dana 110 M. Jumlahnya naik 7 M dari tahun lalu, walaupun 2019 ini masa baktinya tidak setahun penuh sebab Presiden Jokowi akan berakhir sekitar tanggal 20 Oktober tahun ini.

Apa yang dimiliki Presiden ini paling efektif membangun persepsi masyarakat bawah tentang personality dari sang Presiden. Presiden kita baik, merakyat suka bagi bagi sembako, suka bagi-bagi sepeda. Ini tindakan legal yg bisa dikaitkan dengan pemilu presiden.

Persepsi seperti ini sudah terbangun kuat walaupun realitanya yang dibagi-bagi Presiden kita ini adalah uang rakyat juga, duit APBN. Tetapi, itulah kekuatan petahana. Mereka sedang memegang yang dan kekuasaan. Jumlahnya besar sekali.

Saya hanya mengingatkan ini, demi keadilan dalam pemilu, KPU dan Bawaslu RI serta masyarakat umumnya harus paham. Semoga pengetauan ini menjadi cara kita mendidik bangsa kita agar bisa membedakan belanja negara dan kampanye petahana.

Sebab percuma saja debat dan adu program kiri kanan, tetapi jika pada akhirnya uang berjumlah lebih dari 100 trilyun ini menggelontor dan nampak sebagai serangan fajar maka pemilih takkan bisa memilih dengan hati. Waspadalah demi masa depan demokrasi kita. Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR RI, Politisi PKS.