PEKANBARU - Untuk mewujudkan Provinsi Riau sebagai pusat perekonomian dan kebudayaan melayu di dalam lingkungan masyarakat yang agamis, sejahtera lahir dan batin di Asia Tenggara Tahun 2025, maka pemerintah daerah pun diminta untuk berbenah. Adapun beberapa hal yang harus dibenahi dan diberantas diantaranya seperti tempat hiburan malam yang diduga sering dijadikan tempat praktik maksiat dan peredaran narkoba.

Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR), DR Chaidir mengatakan, bahwa pemerintah daerah dan aparat penegak hukum harus menutup dan mencabut izin tempat hiburan malam dan panti pijat yang menyalahi perizinan. Sebab hal itu dianggap berpotensi menimbulkan perbuatan maksiat.

"Segala bentuk praktik maksiat atau penyakit masyarakat, perdagangan dan peredaran narkoba serta LGBT harus ditindak tegas. Ini berpotensi menimbulkan perbuatan maksiat yang sangat bertentangan dengan norma agama dan adat Melayu Riau," tegas Chaidir kepada GoRiau.com di Pekanbaru, Rabu (1/1/2020).

Menurut Chaidir juga, persoalan pemberantasan tempat-tempat praktik maksiat ini juga sama pentingnya dengan desakan penutupan tempat makan Nonhalal seperti rumah makan babi panggang karo (BPK) dan warung-warung tuak.

"Hal ini juga berpotensi mengganggu dan menciderai kondusifitas masyarakat. Makanya kami juga mendesak pemerintah untuk menutup rumah makan BPK, non halal dan warung-warung tuak yang beroperasi di wilayah Riau," tuturnya.

Bahkan, untuk menyampaikan desakan kepada pemerintah ini, FKPMR pun telah duduk bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Riau, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Pekanbaru, Komando Ulama Riau dan Forum Anti Maksiat Kota Pekanbaru, pada Selasa (31/1/2019) kemarin, bertempat di Sekretariat FKPMR.

Ia juga kembali mengingatkan, bahwa Riau merupakan bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang masih sangat memegang teguh norma-norma agama, adat dan budaya melayu Riau yang bersendikan syara' dan syara' bersendi Kitabullah atau Al Qur'anul Karim.

Hal tersebut ditegaskan lagi dengan menetapkan dan membuat konsensus politik tentang visi dan misi provinsi Tahun 2020 (Perda Nomor 36 Tahun 2001 tentang Visi dan Misi Provinsi Riau, terakhir dengan Perda Nomor 12 Tahun 2017 tentang Perubahan Perda Nomor 9 Tahun 2009 tentang RPJPD Provinsi Riau Tahun 2005-2025), yakni mewujudkan "Provinsi Riau sebagai Pusat Perekonomian dan Kebudayaan Melayu di dalam Lingkungan Masyarakat yang Agamis, Sejahtera Lahir dan Batin, di Asia Tenggara Tahun 2025".

"Sejatinya masyarakat yang bertempat tinggal di Riau yang heterogen (beragam kaum), patutlah menjunjung tinggi norma adat dan budaya melayu Riau tersebut sebagaimana pepatah 'dimana bumi di pijak, di situ langit di Junjung'," ujarnya.

Chaidir yang juga mantan Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode ini pun menegaskan, bahwa kerukunan antar etnis dan umat beragama merupakan harapan setiap masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Provinsi Riau. Dan kerukunan ini dapat diwujudkan jika semua pihak memiliki komitmen yang nyata yang dilandasi dengan timbang rasa toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam ikatan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD RI 1945.

"Untuk itu, kami juga mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk bersama-sama menjaga iklim kondusif di Riau, dengan tetap mempererat toleransi antar etnis dan umat beragama. Serta menghindari bentuk-bentuk kegiatan yang dapat memicu munculnya benih-benih keresahan dan ketidakharmonisan dalam masyarakat," imbuhnya. ***