SUARA mobil Ambulans menghentikan pembicaraan dua orang penggali kubur di Tempat Pemakaman Umum Tengku Mahmud Palas, Kota Pekanbaru, Riau, pada 25 Mei 2020. Hari itu masih Idul Fitri 1441 Hijriah, namun tidak ada bedanya seperti hari biasa bagi mereka yang bertugas di kuburan khusus COVID-19.

''Woi, kita belum siap,'' teriak Yanto sambil bergegas bangun dari posisi duduknya di bawah pohon.

Yanto dan Subhan, dua orang penggali kuburan, tengah bersiaga pada siang itu. Keduanya tampak terburu-buru mengambil perlengkapan alat pelindung diri (APD). Hanya dalam hitungan kurang dari semenit, baju hazmat warna merah sudah mereka kenakan lengkap dengan sepatu bot, masker dan sarung tangan.

Sementara itu, ambulans yang dikawal mobil polisi makin mendekat dan suara sirinenya memecah sunyi pemakaman itu. Mobil pembawa jenazah berwarna putih itu terlihat terguncang-guncang melewati jalan tanah yang tak rata. Sebagian terlihat seperti kubangan lumpur karena hujan semalam.

Dari dalam ambulans tiga orang tenaga kesehatan mengenakan APD lengkap membuka pintu belakang mobil untuk menurunkan peti mati. Yanto dan Subhan ikut membantu memasukkan peti itu dengan tali tambang ke liang lahat. Sejurus kemudian keduanya meraih cangkul dan menutup lubang itu dengan tanah merah yang lengket terkena hujan.

Saat mereka masih menyelesaikan tugasnya, seorang petugas kesehatan berdiri sambil mengangkat tangan setinggi dadanya, mendoakan jenazah yang kini di tempat terakhirnya di dunia. Setelah liang kubur sudah tertutup tanah, petugas itu menancapkan nisan terbuat dari kayu kasar tanpa pulasan cat.

Begitu cepat proses pemakaman dengan protokol COVID-19 berlangsung, tanpa ada taburan bunga tujuh rupa, doa bersama, dan anggota keluarga hanya boleh melihat dari jauh.

Bakar ''baju Lebaran''

Yanto dan Subhan melepaskan APD setelah Ambulans pergi dari kuburan, dan kali ini melaju tanpa bunyi sirine. Ketika hazmat sudah ditanggalkan, terlihat peluh membasahi tubuh mereka.

Baju dari bahan polyester itu mereka campakkan ke tanah dan dibakar. Sesuai protokol kesehatan COVID-19, pakaian pelindung itu hanya bisa sekali pakai untuk proses pemakaman.

“Baju Lebarannya dibakar,” kelakar Yanto sambil melihat api melumat hazmat.

Pria berusia 57 tahun itu mengatakan memakamkan orang saat Lebaran adalah rutinitas biasa, namun kerja mengenakan APD belum jadi hal lazim buatnya. “Tapi ini untuk keselamatan kita semua, walaupun baju itu panas dan cepat robek,” ujar Yanto.

Sejak TPU Tengku Mahmud Palas dijadikan lokasi pemakaman khusus dengan protokol COVID-19 di Pekanbaru sejak 9 April 2020, hingga kini sudah ada 79 jenazah dikuburkan di sana. Subhan yang menjadi koordinator penggali kuburan di tempat itu masih ingat jelas bagaimana ia menyiapkan liang lahat pertama pada malam hari seorang diri.

“Kuburan pertama saya gali sendirian sampai hampir subuh baru selesai,” katanya.

Walaupun di tempat itu ada lima orang penggali kubur seperti dirinya, namun Subhan wajib siaga setiap saat karena menjadi koordinator. Pria berusia 46 tahun ini berstatus PNS khusus mengurusi pemakaman.

Penggali kubur lainnya ada juga yang PNS, yakni Bambang, sedangkan sisanya berstatus tenaga honorer lepas (THL), yakni Yanto, Anto dan Nano.

Risiko tertular

Gawai mereka, terutama milik Subhan, harus menyala 24 jam karena bisa kapan saja mendapat telepon kalau ada jenazah baru yang akan masuk. Dalam satu hari mereka pernah melakukan sampai tujuh kali pemakaman pasien COVID-19.

“Kerja seperti ini kelihatannya memang sederhana, tapi tanggung jawabnya tidak bisa dibuat main-main. Karena saya tidak mau menyulitkan orang yang sudah meninggal,” ujarnya.

Para penggali kuburan mulai bisa beradaptasi dengan tugas baru mereka yang tidak ringan. Mereka tetap berisiko tertular virus mematikan itu apabila tidak mengindahkan prosedur kesehatan saat bertugas.

Subhan mengatur jam kerja penggali kubur lainnya secara bergantian, meski dirinya sendiri mengaku tidak ada libur.

“Malam takbiran ada jenazah masuk, baru selesai jam dua malam. Pas Lebaran hari pertama, Alhamdulillah tidak ada yang masuk, tapi Lebaran kedua ada masuk tiga, sejak pagi kami kerja,” katanya.

Agar tidak terburu-buru bekerja setiap hari, mereka memanfaatkan waktu luang unttuk menggali liang lahat terlebih dulu untuk jenazah yang akan datang. Mereka juga membantu merapikan makam, membuat nisan sementara agar keluarga dan ahli waris tidak kebingungan mencari. Selain itu, Subhan juga mulai menanam tanaman hias di kuburan khusus COVID-19 itu.

“Saya ambil tanaman hias supaya tempat ini ‘gak terlalu menyeramkan. Sebelumnya kan kelihatan gersang seperti makam tak terurus,” kata Subhan.

Penghasilan tak berubah

Meski awalnya sempat khawatir tertular, Subhan bersyukur isterinya sudah bisa memahami tugas baru suaminya sebagai penggali kuburan COVID-19. “Untungnya isteri bisa mengerti, paling suka telepon karena sudah lebih jam 12 malam belum pulang-pulang ke rumah,” kata ayah lima anak ini.

Meski beban kerja dan risiko tugas barunya bertambah, Subhan mengatakan penghasilannya sebagai penggali kuburan khusus COVID-19 tidak berubah.

Sebagai PNS di Dinas sosial dan Pemakaman Kota Pekanbaru, ia mendapat gaji Rp2,1 juta sebulan. Sedangkan bagi penggali kubur yang berstatus pekerja honorer, tergantung hari kerja dan diupah Rp72 ribu per hari.

“Katanya dari kantor sudah mengusulkan insentif untuk penggali kubur ke dinas kesehatan, tapi saya belum tahu berapa. Belum juga cair sampai sekarang,” katanya.

Selain itu, ia juga berharap dari dinas kesehatan bisa rutin memeriksa kesehatan para penggali kubur. Subhan mengatakan hingga kini mereka belum pernah mengikuti rapid test COVID-19.

“Kantor sudah mengusulkan ke dinas kesehatan, tapi belum ada yang datang,” kata Subhan.

Para penggali kuburan seperti Subhan dan teman-teman mungkin sudah lebih dulu berdamai dengan COVID-19 karena rutinitas yang memaksa mereka untuk mencari tatanan normal baru di masa pandemi. ***