JAKARTA - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dede Yusuf Macan Effendi berpandangan, kewenangan legislasi mestinya menjadi kewenangan DPR saja sebagai legislator. Pengamat Politik dari Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, turut mengemukakan pandangan akademisnya.

"Menarik mencermati, terkait pertarungan kepentingan dalam perumusan sistem presidential," kata Pangi mengawali komentarnya terkait hal ini ketika diwawancara GoNews Grup, Kamis (3/10/2019).

Menariknya, Ia melanjutkan, dalam sistem presidensial murni, zonasi/garis demarkasi sangatlah jelas. Legislatif fokus membuat produk undang-undang dan eksekutif melaksanakannya, "presidensial kita justru eksekutif sibuk buat peraturan perundang-undangan,".

Menurut Pangi, pertarungan kepentingan tersebut mencapai konsensus yang melahirkan sistem presidensial model Indonesia yang berbeda dengan negara lain, dengan ciri utamanya adalah keterlibatan presiden dalam proses pembahasan rancangan undang-undang bersama DPR.

"Konstruksi konstitusi yang dapat mengatasi kebuntuan politik antara eksekutif dengan legislatif dengan mekanisme saling ‘bypassing’ antara presiden dan DPR dalam proses pengambilan keputusan," ujarnya.

Presidensial di Indonesia, kata Pangi, memang unik karena produk legislasi masih didominasi oleh eksekutif. Mungkin, Ia menduga, "ini (merupakan, red) jalan tengah, mencegah 'deadlock' antara legislatif dan eksekutif. Sehingga ada kompromi, salah satunya eksekutif (turut, red) membuat undang-undang,".

Sebelumnya, usai inagurasi anggota DPR RI periode 2019-2024, politisi Partai Demokrat, Dede Yusuf mengatakan, "kalau saya justru, berpikirnya lebih ekstrem lagi. Kewenangan legislasi itu adanya di DPR saja,".

Pernyataan itu, disampaikan Dede saat menanggapi wacana pembentukan Badan Legislasi Nasional dan upaya penyederhanaan perundang-undangan Indonesia menjadi sekira 20 UU Pokok.

Ke depan, menurut Dede, ketimbang membentuk Badan Legislasi Nasional, lebih baik menyerahkan kewenangan pembuatan UU secara lebih prioritas pada DPR. Karena pelibatan pemerintah, kerap menjadi kendala lambatnya suatu UU diproses.

"Selama ini kan, banyak (inisiatif RUU, red) titipan dari pemerintah. Kadang di kalangan pemerintah sendiri konfliknya berkepanjangan. Saya menyelesaikan dua UU yang konfliknya 10 tahun, karena inisiatif pemerintah. Begitu kami (DPR RI) tarik, 1 tahun selesai," tutur Dede menyinggung UU Pekerja Migran Indonesia.

Toh sebetulnya, soal peraturan di negeri ini, Dede mengatakan, pemerintah sudah punya Permen (Peraturan Menteri), Perpres (Peraturan Presiden), PP (Peraturan Pemerintah) dan payung-payung hukum lainnya.

Dede tak menolak mentah-mentah gagasan agar perundangan di Indonesia dibuat lebih sederhana, tapi Ia pesimis jika agenda itu selesai dalam 5 tahun. Katanya, "bisa sampai 2 periode,".***