JAKARTA - Sebuah video viral di media sosial yang memperlihatkan dua orang petani sedang membuang sejumlah peti tomat ke jurang. Petani membuang hasil panennya lantaran harga jual tomat anjlok hingga menyentuh Rp 600 per kilogram.

Menanggapi hal itu, Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo mengaku miris akan kejadian menimpa petani tomat yang marah akibat harga jualnya anjlok tersebut. "Jadi, saya sangat memahami, mengerti dan prihatin terhadap protes dari petani kita dengan membuang hasil panennya itu. Mereka memang kecewa, karena harga yang petani dapatkan di pasar tidak sesuai dengan biaya (cost) yang dikeluarkan untuk bertanam tomat dan lain sebagainya," kata Firman kepada wartawan, Minggu (29/1/2023).

"Oleh karena itu sikap frustasi seperti ini harus bisa dipahami serta dimengerti. Karena memang perlu adanya keberpihakan Pemerintah untuk melindungi daripada petani terutama stabilisasi harga," sambung Firman.

Firman menuturkan, tomat tidak masuk kategori produk pertanian yang mendapatkan proteksi subsidi dan sebagainya dan termasuk yang dilepas di pasar bebas. Tapi disisi lain, perkembangan akhir-akhir ini fenomena terhadap impor baik itu produk pertanian apakah itu holtikultura macam beras, bawang merah-putih dan sebagainya hingga buah-buah itu semakin lama semakin besar.

Walaupun Presiden Jokowi sudah mengingatkan berkali-kali agar budayakan atau menggunakan atau makan produk-produk daripada petani lokal. "Nah untuk itu maka, harus ada satu gerakan atau tindakan konkrit dari pemerintah untuk melindungi terhadap hasil-hasil pertanian yang diperlukan oleh rakyat dan kemudian pemerintah harus mulai membatasi produk impor yang akan menjadi pesaing daripada produk petani lokal," ujar politikus Partai Golkar ini.

Karenanya, menurut Firman, kalau dikomper secara apel to apel itu petani lokal akan sulit bersaing dengan yang namanya produk petani dari luar negeri. Karena sistem pertanian mereka semua sudah menggunakan teknologi dan kemudian tingkat produksinya sudah jauh lebih maksimal dan biaya produksinya juga lebih murah.

"Oleh karena itu, lanjut Firman, dengan mekanisme pasar yang dilepaskan kepada pasar bebas, maka petani lokal akan sangat sulit apalagi tidak ada keberpihakan kepada petani lokal," terang Ketua Umum IKAPI ini.

Untuk itu, Firman meminta, Pemerintah harus membuat satu regulasi yang berpijak dalam kepentingan rakyat itu harus dilindungi. Pasalnya, hal ini untuk menjaga psikologis petani agar mereka masih bertani tetap semangat bertani.

Terlebih, kalau negara ini masih bergantung kepada hasil pertanian luar negeri atau import maka suatu saat kalau terjadi musibah seperti pandemi Covid-19 maka akan ada musibah kelaparan besar-besaran. "Kita harus sadar bahwa Indonesia nama negara yang cukup besar itu bergantung kebutuhan pangan terutama bahan pokok. Itu prinsip dasaranya keberpihakan pemerintah untuk membuat regulasi kepentingan rakyat dan petani itu intinya," tandas legislator dapil Jateng III ini.

Adapun dalam video yang viral berdurasi 11 detik itu terlihat dua orang petani sedang menggotong dua peti kayu yang berisi penuh tomat dari mobil pickup. Kemudian petani tersebut membalikan peti kayu itu hingga seluruh tomat terbuang ke jurang. Sementara itu, terlihat dalam mobil pickup itu masih banyak peti kayu berisi tomat.

Dalam caption video tertulis bahwa petani kesal lantaran harga jual tomat jatuh. Kemudian diketahui petani tersebut berasal dari Desa Pekon Hanakau, Kecamatan Sukau, Kabupaten Lampung Barat. Pudin, salah satu petani, menjelaskan penyebab kejadian buang-buang tomat itu. "Pasarannya lagi sepi, peminatnya kurang, sedangkan yang panen banyak, sekarang harga hanya Rp 800, nggak ketutupan sama modalnya," kata Pudin.

Menurut Pudin, bulan lalu harga tomat masih berkisar Rp 4.000 per kilogram. Namun saat ini harganya anjlok di kisaran Rp 600 hingga Rp 800 per kilogram. Turunnya harga tomat lantaran petani sedang mengalami masa panen. Ia menuturkan dalam sekali panen petani bisa menghasilkan 400 hingga 500 kotak tergantung luas lahan tanam.***