KAMPAR - Hampir setiap tahun di musim kemarau, peristiwa kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) menjadi momok menakutkan bagi masyarakat di Riau, salahsatunya di Kabupaten Kampar.

Asap Karhutla juga jadi momok menakutkan yang mengancam kesehatan masyarakat. Tak hanya jadi momok menakutkan bagi masyarakat, tetapi juga jadi momok menakutkan bagi Tim SAR yang tergabung dalam Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tiap daerah di Provinsi Riau, termasuk BPBD Kampar.

Pahit, asam manis dirasakan segenap tim BPBD Kampar dalam menangani kejadian Karhutla di Kampar setiap tahunnya. "Zero Fire" jadi sebuah kata yang paling diidamkan para Tim SAR BPBD Kampar.

Bukan tanpa alasan, kalimat ini menandakan upaya pencegahan yang mereka lakukan berhasil dan tak perlu lagi bergelut bertaruh kesehatan dan nyawa untuk memadamkan api yang dapat menyebabkan masyarakat sakit.

Kepala Operasi BPBD Kampar, Adi Chandra Lukita mengaku banyak pengalaman manis dan pahit yang dialaminya selama bertugas di kesatuan BPBD Kampar sejak tahun 2016.

Ia mengutarakan kondisi tempat terjadinya Karhutla tidak semuanya mudah dicapai dan bersahabat bagi tim BPBD Kampar dalam melakukan aksi pemadaman api.

Menurutnya Tim BPBD di setiap tugas selalu berharap api bisa mudah dipadamkan, bahkan kalau bisa tiada lagi kejadian kebakaran hutan dan lahan. Tidak jarang api Karhutla berkobar di daerah yang kondisinya sumber air sulit ditemukan.

"Namun tetap yang namanya tugas harus tetap dijalani," ungkapnya.

Dirinya mengaku pernah menghadapi kebakaran hutan dan lahan di daerah Kabupaten Kampar yang lokasinya sulit untuk mendapatkan sumber air.

Adi menuturkan tidak setiap kali bertugas Tim BPBD Kampar didukung sarana dan prasarana yang memadai. Tidak dipungkiri kebutuhan sarana dan prasarana masih menjadi kendala dalam penanganan Karhutla di Kabupaten Kampar.

Salah satu yang saat ini sangat dibutuhkan adalah kecukupan armada pemadam kebakaran dalam rangka mengcover luasnya Kabupaten Kampar Karena kondisi ini, pernah dirinya pada tahun 2019 lalu bersama anggota dari Tim BPBD Kampar memadamkan api hanya dengan mengandalkan gelas air mineral.

"Gelas air mineral ini kita gunakan bersama untuk menimba masuk kedalam jeriken air," katanya.

Ia menuturkan, sulitnya didapatkan sumber air, membuat tim memilih untuk mendapatkan air dari tempat kubangan hewan. Sekitar kurang lebih dua jam menimba air, barulah jeriken terisi penuh dan air di dalamnya digunakan untuk memadamkan api yang berkobar.

Pada saat itu, untuk menuju ke lokasi kebakaran Tim BPBD Kampar terpaksa berjalan sejauh setengah kilometer dari lokasi menimba air ke lokasi kebakaran.

"Ini kita ulang lakukan beberapa kali sambil menunggu suplai air yang memadai, tak hanya itu, anggota juga dikerahkan untuk memadamkan api dengan alat seadanya dari ranting pohon," katanya.

Ia mengaku sedih menceritakan pengalaman ini, namun ia mengaku tetap bersemangat dalam mengemban tugas.

Menurutnya, kebencanaan adalah kerja kemanusiaan, semua orang mungkin pandai dan cakap bekerja, tetapi tidak semua orang memiliki jiwa kemanusiaan dan patriotik terhadap kerja kebencanaan.

Dirinya menilai di jaman sekarang ini sedikit sekali orang-orang yang memiliki jiwa kemanusiaan yang tinggi terhadap kebencanaan. Banyak orang saat ini mengukur kerja hanya dengan uang.

"Kerja kemanusiaan yang menjadi tolok ukur adalah keberhasilan, karena jika berhasil dalam menangani bencana, walaupun hasil yang diterima tidak sebanding namun itu tidak akan pernah bisa mengalahkan rasa kepuasan batin," jelasnya.

Ia mengatakan prinsip itulah yang dipegang dirinya dan juga harus dipegang pekerja kemanusiaan. Dirinya mengingatkan masyarakat agar menjaga alam agar alam jaga kita.

Ia menambahkan saat ini dalam rangka pencegahan terjadinya Karhutla, BPBD Kampar secara rutin melakukan patroli. Selain itu sosialisasi secara rutin juga dilakukan kepada masyarakat agar turut serta mencegah Karhutla dan juga tidak membakar lahan.***