JAKARTA - UN Human Rights and FAO Gender Specialist, Nukila Evanty menyatakan, orang-orang Papua sudah lama mengalami pelanggaran hak asasi manusia, pemukulan, intimidasi, pemindahan paksa dari tanah dan hutan mereka, serta penahanan para aktivis yang melakukan demo secara damai.

"Ketika orang Papua tersebut pergi ke pulau-pulau lain di Indonesia, mereka menghadapi 'rasisme', diawasi, dan kasus terakhir penggerebekan asrama di Surabaya dimana orang Papua dikata-katai dengan 'nama binatang'" kata Nukila usai diskusi bertajuk 'Diskriminasi Berbasis Rasial antara Legalitas dan Realitas' yang digelar Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum UNDIP Semarang, Rabu (15/7/2020) kemarin.

Kondisi itu juga membuat lahirnya istilah 'Papuan Lives Matter'. Gerakan 'Black Lives Matters' yang menuntut keadilan atas kematian George Floyd di Amerika Serikat, pada awal Juni lalu menjadi pemicu.

Menurut Nukila, 'Papuan Lives Matter' adalah potret rasisme di Indoensia, dimana persekusi, berprasangka (Prejudice), dan 'privilage' masih menjadi manifestasi yang kasat mata. Tapi masyarakat tabu bicara soal rasisme.

"Kalau isu pelanggaran HAM di Papua diangkat, dianggap ada antek-antek asing dibelakang orang Papua tersebut. Pendapat demikian pun rasis ya, karena menggangap orang Papua tak bisa mengekspresikan diri dan tak mampu," kata Nukila.

Karenanya, kata Nukila, perlu tindakan hukum berbasis UU No 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, dimana Indonesia sudah meratifikasi 'International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD), melalui UU No. 29 tahun 1999.

Negara, kata Nukila, juga harus memastikan ada pendidikan toleransi, keberagaman dan kebudayaan, agar Indonesia yang indah dengab keragaman suku dan budaya, tak dirusak dengan rasisme.***