PEKANBARU – Sekretaris Fraksi PKB DPRD Riau, Sugianto, mengungkapkan adanya dugaan-dugaan praktik dumping limbah B3 di Provinsi Riau selama eksplorasi minyak di Blok Rokan, saat dikelola oleh PT Chevron Pacific Indonesia (CPI).

Menurut Sugianto, secara umum, setiap usaha atau kegiatan boleh membuang atau menempatkan limbah ke media lingkungan, sesuai izin dan persyaratan tertentu. Namun, jika itu dilakukan di luar izin yang ditentukan, ini tentu sangat membahayakan.

Dikatakan dia, telah terbit Surat Keputusan Menteri LHK tentang Status Telah Selesainya Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3 (SSPLT) dari tahun 2015- 2021 sebanyak 168 lokasi, yang mencakup luasan 3,3 juta M2 dan volume TTM sebanyak 3,1 juta Ton.

Berdasarkan informasi di lapangan dan mencermati jumlah sebaran lokasi, luasan, maupun volume tanah terkontaminasi yang telah dilakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup itu, Sugianto menilai sangat tidak masuk akal dan tidak bisa dibuktikan secara ilmiah.

"Dari informasi yang ada, CPI itu mengelola Blok Rokan lebih dari 50 tahun, selama itu tidak ada perusahaan lain sebagai KKKS. Di jangka waktu itu juga tidak ada bencana alam atau peperangan yang bisa menyebabkan terjadinya tumpahan minyak," paparnya.

Artinya, Volume TTM sebesar 3,1 juta ton tersebut jelas dampak dari perbuatan melawan hukum PT CPI yang diduga sengaja melakukan dumping illegal limbah B3. Diduga, limbah B3 PT CPI sengaja dibuang ke media lingkungan tanpa izin.

"Hal ini juga merujuk bahwa selama ini jika terjadi tumpahan atau ceceran minyak bumi yang dilaporkan oleh PT CPI tidak melebihi 10 barel, sehingga tidak mungkin kejadian tersebut akan mencemari lingkungan dan menyebabkan TTM sebanyak 3,1 juta ton," jelas mantan Sekretaris Komisi II DPRD Riau ini.

Disampaikannya, sebelum tahun 1994, PT CPI memang diperbolehkan melakukan penyiraman jalan atau tapak sumur dengan minyak bumi.

Kemudian, limbah yang mengandung minyak bumi yang berasal dari sumur bor atau fasilitas pengumpulan, dibawa dan diolah di pusat pengolahan lumpur bor dan atau fasilitas pengolahan limbah.

Namun, faktanya, lokasi-lokasi yang mendapat SSPLT tidak berada pada jalan atau tapak sumur atau lokasi yang legal. Melainkan, berada di media lingkungan yang penguasaan, pengelolaan, penggunaan, dan pemanfaatan berada di pihak lain, sehingga melanggar hak orang lain dan lingkungan hidup, yang berimplikasi timbulnya kerugian masyarakat, serta kerugian lingkungan hidup.

Disisi lain, Sugianto menyoroti terkait baku mutu, dia mempertanyakan, apakah limbah yang mengandung minyak bumi pada saat dibuang oleh PT CPI dulu telah sesuai baku mutu, baku mutu mana yang menjadi acuan mereka.

"Perbuatan melawan hukum (PMH)-nya jangan hanya dilihat kondisi saat ini melebihi baku mutu atau tidak, tapi lihat kronologisnya bahwa pencemaran terjadi karena limbah B3 tersebut dulu tidak dikelola sesuai dokumen lingkungan. Dan diduga, langsung dibuang ke media lingkungan dan berada lokasi-lokasi yang tidak ada izin untuk menempatkan limbah B3 tersebut,"ucapnya.

Selain itu, masih dari catatan dan informasi, PT CPI juga dinilainya melakukan kesalahan, karena sampai tanggal 8 Agustus 2021 ada ratusan lokasi yang tidak dilakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup yang berada di Hutan Konservasi Balai Raja, Hutan Konservasi Tahura Minas, dan Hutan Produksi.

Begitu juga di kawasan sepadan sungai, dan setidaknya masih ada 297 lokasi TTM di lahan milik masyarakat. Lokasi-lokasi tersebut juga bukan merupakan lokasi izin yang dimiliki PT CPI untuk mengelola atau menempatkan limbah dan atau limbah B3 yang dihasilkan dari kegiatan usahanya.

Menurut dia, uji laboratorium terhadap TTM pada kasus ini bukan untuk menentukan suatu perbuatan yang dianggap pencemaran jika telah mengakibatkan melebihi baku mutu.

Tapi, sejak PP No 19 Tahun 1994 tentang pengelolaan limbah B3 sampai dengan PP 22 tahun 2021, tentang Pengelolaan lingkungan Hidup, limbah yang mengandung minyak bumi sudah disebutkan sebagai Limbah B3 kategori I ataupun Kategori II, sekecil atau sedikit apapun jumlahnya, limbah B3 tidak boleh dibuang atau berada di media lingkungan.

"Limbah minyak bumi tersebut sudah jelas sebagai sumber pencemaran yang sangat berbahaya bagi lingkungan dan manusia, tanpa harus dilakukan uji laboratorium. Sebab untuk memasukan suatu zat atau limbah yang mengandung minyak bumi sebagai limbah B3 tentunya pemerintah sudah melakukan kajian dampak, serta tingkat bahayanya bisa memberikan dampak tidak baik terhadap lingkungan, kesehatan manusia, baik secara akut maupun kronis," jelasnya lagi.

"Dampak buruk limbah B3 terhadap manusia dapat memiliki efek akut yang menyebabkan kerusakan susunan saraf, sistem pencernaan, pernafasan, kardiovaskuler serta berbagai macam penyakit kulit bahkan kematian," tegasnya.

Sedangkan efek kronis dari limbah B3 dapat menjadi pemicu kanker, cacat bawaan, mutasi sel tubuh, serta kerusakan sistem reproduksi.

Limbah B3 dapat mengganggu sistem pernafasan dan pencernaan. Limbah B3 dapat menyebabkan paru-paru mengalami kerusakan berat, sedangkan makanan yang terkontaminasi limbah B3 dapat menyebabkan kerusakan hati.

"Uji laboratorium terhadap TTM saat ini diperlukan dalam rangka untuk menentukan seberapa banyak tanah-tanah yang terdampak/mengandung limbah minyak bumi tersebut akan dikelola sebagai limbah B3 kategori I, limbah B3 Kategori II, atau dikelola sebagai limbah non B3 atau tanah yang bisa digunakan sebagai tanah pelapis dasar pada kegiatan Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3, jadi bukan untuk menentukan telah atau tidaknya terjadi pencemaran limbah B3," ucapnya.

Ini dilakukan, sambungnya, untuk mengantisipasi terulanganya perbuatan dumping illegal limbah B3 di Riau yang meresahkan masyarakat.

" Gubernur Riau harus segera menyusun program kedaruratan Pengelolaan Lirnbah B3 skala Provinsi sesuai amanat PP 22 tahun 2021, jika ka gubernur gak ngerti masalah seperti ini, maka gubernur memang gak bisa memimpim negeri ini karena ketidaktahuan atau memang ada pembiaran," tutupnya. ***