RENDANG merupakan makanan yang disukai banyak orang, tak terkecuali masyarakat Riau. Makanan olahan yang berbahan dasar daging sapi ini beberapa waktu lalu pernah dinobatkan menjadi makanan terenak di dunia.

Selain dijadikan rendang, daging sapi juga diolah menjadi beberapa jenis makanan, sebut saja dendeng, sate, sop dan lain-lain. Beberapa industri makanan olahan juga banyak yang menggunakan bahan dasar daging sapi, seperti bakso, sosis dan lain-lain.

Konsumsi masyarakat Riau pada daging secara umum memang masih di bawah konsumsi ikan, udang dan sejenisnya. Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020 menyatakan persentase pengeluaran perkapita perbulan untuk ikan sebesar 5,86 persen, sedangkan pengeluaran untuk daging masih sekitar 2,08 persen, sedikit di bawah pengeluaran untuk telur dan susu yang sebesar 2,85 persen.

Secara rata-rata setiap orang dalam satu bulan mengeluarkan sekitar Rp28 ribu untuk konsumsi daging, Rp38 ribu untuk telur dan susu, sedangkan untuk ikan dan sejenisnya sekitar Rp78 ribu.

Bila berbicara mengenai daging sapi tentu tidak lepas dari ketersediaan daging itu sendiri di masyarakat. Ketersediaan daging sapi terkait erat dengan usaha di bidang peternakan sapi.

Lalu bagaimana kondisi peternakan sapi di Provinsi Riau? Usaha peternakan sapi merupakan bagian dari kegiatan peternakan secara keseluruhan, baik ternak besar, seperti sapi, kuda dan kerbau, ternak kecil seperti kambing dan domba serta ternak unggas.

Bagaimana kinerja peternakan di Riau selama ini? Pada tahun 2019 usaha peternakan Riau tumbuh sebesar 4,15 persen. Walaupun hanya menyumbang 0,78 persen dari ekonomi Riau, namun sejak tahun 2015 peternakan selalu tumbuh positif dengan share yang terus meningkat. Hal ini menunjukkan kinerja yang cukup baik. Bahkan di masa pandemi ini secara umum sektor pertanian tetap tumbuh positif.

Khusus budidaya ternak sapi potong, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian mencatat jumlah ternak sapi potong di Provinsi Riau tahun 2019 sebanyak 198.296 ekor. Pada tahun 2020 diperkirakan jumlah ternak sapi potong meningkat menjadi lebih dari 202 ribu ekor.

Sapi potong lebih banyak dibudidayakan di Kabupaten Rokan Hulu dan Kampar, (SUTAS 2018). Berdasarkan jenisnya, sapi bali merupakan jenis rumpun sapi potong yang paling digemari oleh masyarakat Riau, dengan tujuan pemeliharaan untuk pengembangbiakan.

Seperti juga manusia, ternak sapi potong mempunyai mobilitas yang cukup tinggi. Selain dihitung dari jumlah lahir dan pemotongan, populasi sapi juga dihitung dari jumlah sapi yang keluar dan masuk Provinsi Riau.

Selama tahun 2019 jumlah ternak sapi potong yang masuk ke Riau lebih banyak dibanding yang keluar, terutama pada saat menjelang perayaan keagamaan, khususnya Hari Raya Idul Adha. Tercatat selama satu tahun terdapat lebih dari 21 ribu ekor sapi hidup masuk ke Riau, dan hanya 850 ekor yang dikirim keluar wilayah. Hal ini menunjukkan adanya permintaan pasar yang cukup tinggi baik untuk konsumsi daging sapi maupun untuk investasi ternak di Riau.

Lalu berapa jumlah sapi yang dipotong di Riau per hari? Jumlah sapi yang dipotong selama tahun 2019 sebanyak 50.395 ekor, termasuk yang dipotong ketika Hari Raya Haji.

Khusus untuk sapi yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH), tercatat rata-rata dalam satu hari dipotong 58 ekor sapi. Dilihat dari fluktuasi harga daging sapi di Riau yang relatif stabil, menunjukkan kebutuhan daging sapi di pasar tercukupi. Rata-rata harga daging sapi selama tahun 2019 berkisar 111 ribu per kilogram, gejolak harga biasanya terjadi pada bulan puasa karena tingginya permintaan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait kondisi tersebut di atas; pertama, peternakan sapi di Riau masih sangat memungkinkan untuk berkembang lebih baik, mengingat potensi sumber daya pakan ternak yang cukup banyak. Sebagian besar wilayah Riau berupa perkebunan sawit yang mempunyai potensi pakan ternak melimpah. Pada beberapa tahun lalu pernah ada optimisme Riau menjadi pusat pengembangan ternak sapi terbesar di Sumatera, walaupun sampai saat ini populasi ternak sapi Riau masih di bawah beberapa Provinsi lain seperti Sumatera Utara, Lampung, Suamtera Barat, Aceh dan Sumatera Selatan, namun mengingat potensi yang tersedia bukan tidak mungkin cita-cita tersebut dapat terwujud di waktu mendatang.

Kedua, Nilai Tukar Petani (NTP) peternakan tahun 2019 tercatat 96,66. Hal ini menunjukkan indeks yang diterima petani lebih rendah dari indeks yang dibayar petani. NTP memang tidak secara langsung menggambarkan kesejahteraan petani, namun bisa digunakan sebagai proxy kesejahteraan petani sebagai pelaku usaha. NTP dipengaruhi oleh dua hal yaitu perkembangan harga yang diterima petani dan yang dibayarkan petani. NTP peternakan yang di bawah 100 menunjukkan bahwa perkembangan harga yang dibayarkan petani, baik biaya untuk keperluan usaha peternakan (seperti harga pakan ternak, obat-obatan, upah tenaga kerja) maupun biaya untuk kebutuhan sehari hari (seperti beras, minyak, sabun, baju) lebih tinggi dibandingkan harga yang diterima petani (seperti harga ternak, daging, susu dan telor).

Untuk lebih menarik minat petani di bidang peternakan maka nilai NTP sebaiknya di atas 100 persen. Hal ini bisa terjadi bila harga hasil produksi naik dan biaya produksi tetap atau turun. Tentu diperlukan sentuhan dari pihak terkait untuk membuat biaya produksi lebih rendah, bisa dari subsidi harga pakan ternak, atau tambahan pengetahuan tentang teknik membuat pakan ternak yang lebih murah. Yang sudah dilakukan pemerintah secara nasional untuk meningkatkan populasi sapi adalah program SIWAB (Sapi Induk Wajib Bunting). Program ini dapat menekan biaya produksi karena peternak tidak mengeluarkan biaya untuk inseminasi buatan ataupun kawin alam. Pemberian Asuransi Usaha Ternak Sapi dan Kerbau yang sejak 2016 dilakukan pemerintah juga cukup efektif untuk memberikan kepastian usaha peternakan sapi dan kerbau bagi pelaku usaha peternakan.

Ketiga, berdasarkan hasil SUTAS 2018, teknik pemeliharaan ternak masih ada yang dikandangkan dan dilepas. Metode ini perlu dikaji apakah efektif untuk perkembangan ternak mengingat melepas sapi ada sisi positif dan negatifnya. Terdapat petani yang hanya menanam padi sekali setahun karena pasca panen lahan pertanian digunakan untuk melepas ternak. Apabila pemerintah ingin meningkatkan produksi tanaman pangan dan peternakan secara komprehensif maka perlu adanya kolaborasi dari dinas terkait, karena dengan tidak melepas ternak ke sawah memungkinkan lahan sawah dapat ditanami kembali. Pembinaan tentang budidaya ternak sapi yang baik juga perlu lebih intens disampaikan kepada masyarakat.

Masyarakat Riau mayoritas beragama Islam, sehingga setiap hari raya Idul Adha, permintaan akan sapi kurban terus meningkat tiap tahunnya. Hal ini merupakan pasar yang sangat menjanjikan. Pasar yang menjanjikan ini perlu direspons dengan baik untuk meningkatkan animo petani dalam beternak.

Semoga harapan menjadikan Riau sebagai pusat pengembangan sapi terbesar segera terwujud.***

Joko Prayitno, SSi MSE adalah Statistisi Madya pada BPS Provinsi Riau.