JAKARTA - "Mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus akui bahwa media sosial (Medsos) telah dapat dimanfaatkan sebagai media propaganda," kata panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Marsekal Hadi Tjahjanto.

Hal tersebut disampaikan panglima TNI dalam webinar bertajuk 'Sinergi Anak Bangsa Dalam Menjaga Keutuhan Bangsa dan Negara Dari Aksi Separatisme di Dunia Maya', Sabtu (21/11/2020), sebagaimana dilansir kompas.com.

"Dengan penggunaan dan jangkauan yang luas, Medsos bisa digunakan efektif untuk perang informasi dan perang ideologi," kata panglima TNI.

Di sisi lain, upaya negara dan berbagai pihak untuk mengontrol informasi siber termasuk informasi yang ada di media sosial juga terus dilakukan. Kata 'hoaks' belakangan kian populer dan istilah kampanye anti hoaks tak asing bagi publik.

Pada 10 Januari 2019, plt kepala biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) kala itu, Ferdinandus Setu mengungkapkan, ada 3 cara yang dilakukan pihaknya dalam menangkal hoaks. Pertama, penggunaan UU ITE. Kedua, menggunakan mesin. Ketiga, literasi digital.

Menkominfo kala itu, Rudiantara, pada 23 Mei 2020 di Jakarta menyatakan bahwa membatasi Medsos bisa efektif untuk menangkal hoaks.

"Efektif. Mengapa? Ada pesan teks, gambar, video, mana yang paling cepat menyentuh emosi kita? Video kan?" kata Rudi.

Pers juga kemudian ambil peran. Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) pada November 2019 tercatat pernah bicara mengenai aplikasi Cek Fakta yang nantinya terintegrasi dengan whatsapp.

Belakangan Cek Fakta makin tak asing. Terlebih setelah cekfakta.com yang sebuah proyek kolaboratif pengecekan fakta yang dibangun di atas API Yudistira oleh Mafindo ( Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) dan bekerjasama dengan beberapa media online yang tergabung di AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dan AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia) serta didukung oleh Google News Initiative dan Internews serta FirstDraft makin dikenal publik.

Terkini, Mafindo bersama whatsapp meluncurkan versi terbaru chatbot. Setiap pengguna whatsapp bisa mencari berbagai informasi dengan mengetikkan kata tertentu di kolom chat kepada chatbot. Tentunya, setelah nomor chatbot +62-859-2160-0500 ditambahkan sebagai kontak.

Perang Komunikasi adalah Istilah di Negara Otoriter

Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga menyatakan, Medsos merupakan saluran komunikasi yang menjadi tempat pertukaran informasi baik yang berbeda, bertentangan, maupun yang sama.

"Demokrasi memberi ruang kepada semua anak bangsa untuk berbeda pendapat dan kesamaan dalam berpendapat," kata Jamiluddin kepada GoNews.co, Sabtu (21/11/2020).

Ia berpandangan, tidak tepat bila melalui Medsos terjadi perang komunikasi. "Disini hanya terjadi pertukaran informasi dalam kesetaraan, tidak ada yang powerfull.

"Setiap individu berhak menyampaikan pendapatnya tanpa memaksakan pendapatnya. Penerima juga berhak mau mengkonsumsi pesan tersebut atau tidak," kata Dia.

Jadi, Ia melanjutkan, istilah perang komunikasi lebih pas dalam negara penganut otoriter. Di negara otoriter, saluran komunikasi dikuasai negara dan digunakan untuk menyampaikan informasi kepada rakyatnya. Perbedaan dan pertentangan pendapat diharamkan. Rezim hanya menginginkan kesamaan atau keseragaman pendapat.

"Disini akan terjadi monopoli kebenaran. Penguasa yang menentukan nilai mana yang baik dan rakyat harus mengaminkannya," kata Dia.

Bahkan, lanjut Jamiluddin, propaganda dan psywar (perang uraf syarat) akan berkembang. Hal ini dilakukan untuk mempengaruhi khalayak yang dituju. Disini akan memungkinkan upaya memonopoli nilai-nilai kebenaran.

"Memang propaganda dan psywar banyak digunakan tentara, terutama saat peperangan. Hal ini berlangsung dalam situasi abnormal, di mana demokrasi tidak dapat dilaksanakan dengan baik," kata penulis buku Tipologi Pesan Persuasif itu.***