JAKARTA - Wakil gubernur (wagub) DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, menyatakan terbukanya opsi gugatan hukum bagi masyarakat yang menolak vaksinasi atau keberatan dengan ketentuan denda Rp5 juta bagi penolak vaksinasi.

Pemprov DKI Jakarta menyadari adanya penolakan masyarakat pada vaksinasi dengan alasan Hak Asasi Manusia (HAM) yang menganggap vaksinasi harus secara sukarela, tapi kata Riza "karena Covid-19 adalah wabah menular sehingga menyangkut orang lain, justru HAM-nya terbalik kalau kita tidak disuntik, kita mengganggu hak hidup orang, hak keselamatan orang,".

"Kita negara hukum, silahkan bagi siapa saja warga yang keberatan atau menolak (vaksinasi dan/atau sanksi penolakan vaksinasi, red), mengajukan secara hukum prosedurnya, silahkan mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung," kata Riza di Balai Kota Jakarta, Rabu (6/1/20021), sebagaimana dikutip dari portal mediaanalisindonesia.co.id.

"Apapun yang menjadi keputusan tetap, tentu sebagai pemerintah, setiap warga negara harus patuh dan taat. Sejak belum ada keputusan tetap, kita laksanakan ketentuan yang berlaku hari ini," lanjut Riza, menegaskan.

Untuk diketahui, pemerintah provinsi (pemprov) DKI Jakarta, menetapkan sanksi denda 5 juta rupiah terhadap masyarakat yang menolak vaksinasi Covid-19.

Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 30 Peraturan Daerah (Perda) nomor 2 tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19 DKI Jakarta. Pasal ini berbunyi; "Setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pengobatan dan/atau vaksinasi Covid-19, dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah.".

Perda tertanggal 12 November 2020 itu, kata Riza telah berlandaskan pada Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Lembar 'Mengingat' dalam Perda yang dilihat GoNews.co pada Rabu (6/1/2021) malam itu, menjadikan sebanyak 15 peraturan sebagian acuan, diantaranya; Permenkes 9/2020; Permendagri 120/2018 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah; Perpres 82/2020 tentang KPCPEN; PP 21/2020 tentang PSBB; UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan; UU 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular; UU 36/2009 tentang Kesehatan; UU 1/1970 tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja; dan pasal 18 ayat (6) UUD NRI 1945.

Sebelumnya, GoNews.co memberitakan bahwa dalam perpsektif HAM, seseorang dimungkinkan untuk menolak vaksinasi jika vaksinasi dilakukan dengan paksaan. Ini berdasarkan penjelasan Ahli HAM Internasional, Nukila Evanty.

"Perpsektif HAM adalah jika memaksa seseorang untuk divaksinasi Covid-19 misalnya, adalah pelanggaran terhadap hak fundamental manusia atas otonomi pribadi, yaitu hak atas integritas tubuh. Pada dasarnya, hak atas integritas tubuh berarti setiap orang dapat mengambil keputusan untuk dirinya sendiri dan apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan terhadap tubuhnya. Pembatasan apapun atas hak integritas tubuh tersebut, gangguan apapun terhadap integritas tubuh individu, memerlukan hukum yang eksplisit. Perundang-undangan apapun yang dikeluarkan pemerintah seperti Inpres, Peppres, harus ditafsirkan dengan sangat ketat dan harus konsisten dengan UU HAM atau Deklarasi HAM (DUHAM). Pembenaran yang jelas berarti harus ada tujuan yang masuk akal untuk misalnya mewajibkan vaksinasi yang membolehkan 'menolak vaksinasi'," kata Nukila dalam berita berjudul 'Kata Warga soal Vaksinasi', 28 Agustus 2020 lalu.***