PEKANBARU, GORIAU.COM - Kasus dugaan korupsi proyek 'bioremediasi' Chevron masih bergulir di persidangan pada Pengadilan Jakarta Selatan. Kali ini, penasehat hukum PT Chevron Pasific Indonesia (CPI), Maqdir Ismail memprediksi Kejaksaan Agung (Kejagung) bakal terjebak masalah dengan menghadirkan ahli-ahli yang diduga memberikan kesaksian bohong.

Lewat pesan elektroniknya, Minggu (2/6/2013), Maqdir menilai Kejagung telah terjebak dengan ahli yang tidak jujur dalam menyidik kasus proyek pemulihan lahan atau tanah yang terkontaminasi limbah minyak (bioremediasi).

"Proses pengadaan yang semula dilaporkan bermasalah tidak lagi dibahas dalam penyidikan dan persidangan karena ternyata Kejagung lebih menekankan kepada aspek teknis dan prosedural dari pelaksanaan teknologi bioremediasi yang diarahkan oleh ahli Edison Effendi ini," kata Maqdir.

Menurut dia, hal itu menjadi dilema dimana sejak awal Kejagung mempercayai dan mengikuti arahan Edison Effendi sebagai pihak yang dinilai Kejagung memiliki keahlian di bidang 'bioremediasi'.

Ternyata di persidangan, kata dia, hampir semua keterangan ahli ini tidak berdasarkan peraturan di Indonesia dan kaidah-kaidah keilmiahan yang dipegang para ahli 'bioremediasi'. Menurut Maqdir, sudah menjadi fakta persidangan bahwa Edison Effendi adalah pihak yang ikut tender proyek bioremedesiasi di CPI pada tahun 2007 dan 2011 dan gagal walaupun Edison sempat menyangkal sebelumnya.

Keterangan di berita acara pemeriksaan (BAP) Edison bahwa dia lulus sarjana dari ITB ternyata tidak benar. Selain itu BAP Edison Effendi, Prayitno dan Bambang Iswanto, sebagai ahli ternyata berisi keterangan dan kalimat yang persis sama sampai titik komanya yang jelas tidak mungkin bagi tiga orang ahli berbicara dengan kata-kata yang sama persis seperti itu.

Menurut dia, keterangan yang dimuat dalam dakwaan soal batas TPH (kadar mutu lahan tercemar limbah) 7,5 persen hingga 15 persen oleh jaksa berasal dari keterangan Edison bukan petikan dari Kepmen LH 128/2003 sehingga akhirnya menyesatkan karena Kepmen LH 128/2003 hanya memuat keterangan bahwa TPH maksimal adalah 15 persen untuk limbah tanah diolah dengan bioremediasi dan TPH 1 persen ke bawah dianggap aman buat lingkungan.

Mengingat berbagai keterangan yang disampaikan oleh ahli yang ditunjuk Kejagung ternyata bernuansa kebohongan, sementara pihak-pihak yang berwenang menentukan pelanggaran seperti KLH dan SKK Migas telah menilai proyek bioremediasi ini taat hukum, demikian Maqdir, maka kejaksaan dan pengadilan seharusnya bisa mengambil sikap yang bijak dan tegas untuk mengembalikan penanganan kasus ini secara obyektif dan adil sesuai fakta-fakta persidangan.

Rentetan kesaksian dalam persidangan terkini, perkara 'bioremediasi' PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) semakin mengungkap tabir bahwa proyek penananganan tanah tercemar limbah minyak itu, terlalu dipaksakan untuk menjadi kasus pidana. Kuat dugaan, Kejaksaan Agung (Kejakgung) terjebak keterangan ahli yang tidak jujur saat melakukan penyidikan.

Dugaan adanya ahli Kejakgung yang tidak jujur ini, tersirat dari keterangan Anggota Tim Pakar Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Suwarno, dalam persidangan kasus bioremediasi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat, 31 Mei 2013 . Pakar lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) ini dihadirkan sebagai saksi ahli untuk terdakwa Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, dan Widodo. Ketiganya adalah karyawan CPI.

Suwarno merupakan tim pakar pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) di KLH, yang selalu disertakan saat KLH melakukan verifikasi lapangan. Termasuk saat KLH melakukan pemeriksaan ke lapangan PT CPI pada Juli 2011. Suwarno mengaku, bulan itu ia bersama Tim KLH dua kali melakukan pemeriksaan ke lapangan CPI, untuk memastikan tanah sudah bersih.

Pada 9-10 April 2012, Suwarno diminta mendampingi Kejakgung untuk mengambil sampel tanah di lapangan CPI. Menurutnya, saat itu tim ahli dari Kejakgung tiga orang, dua diantaranya Edison Effendi dan Bambang Iswanto. Karena yang bertindak sebagai team leader Edison Effendi, sebelum mengambil sampel, Suwarno mengajak Edison berdiskusi dulu. "Sesuai keilmuan yang saya dalami, saya katakan harus diambil composite sampling. Harus ditentukan dulu, mau diambil berapa?," kata Suwarno tentang diskusinya bersama Edison, sebelum mengambil sampel di lapangan CPI pada 9-10 April 2012.

Selanjutnya, kata Suwarno, disepakati mengambil dari 5 titik. Ia menambahkan, saat itu di 'stock pile' (lapangan CPI) tanah berada dalam 2 kondisi yang berbeda. Pertama, tanah berwarna hitam yang menunjukkan kadar minyak tinggi, dan berarti kadar Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) tinggi. Kedua, tanah berwarna keputih-putihan, sebarannya 40-60 persen. Karena sampel komposit diambil dari 5 titik, supaya seimbang maka harus diambil 40 persen dari tanah hitam dan 60 persen dari tanah keputih-putihan. "Namun di akhir pengambilan sampel, ada perbedaan pendapat antara saya dan Edison," kata Suwarno.

Dimana pada awal disepakati diambil 5 titik untuk dijadikan 1 sampel komposit (yang hitam dan yang keputih-putihan dicampur). Namun saat mengemas sampel, Edison minta dipisah menjadi 2 sampel komposit. Suwarno mengaku memprotes Edison saat itu. "Kalau memang dari awal mau dijadikan 2 titik, mestinya diambil yang hitam 5 titik dan yang keputih-putihan 5 titik," katanya.

Edison kemudian bertanya ke penyidik Kejakgung, karena menurut Edison wewenang pengambilan sampel ada di penyidik. Akhirnya, kata Suwarno, penyidik memutuskan pengemasan sampel sesuai dengan yang diinginkan Edison, yaitu dipisah menjadi 2 sampel.(rls)