JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil mengatakan dalam hal pemberitaan, alangkah etisnya mengedepankan asas praduga tidak bersalah dalam menyampaikan informasi terkait proses hukum yang belum memiliki kekuatan hukum tetap atau, yang populer disebut belum inkrah.

"Kalau proses hukum belum inkrah, belum memiliki kekuatan hukum tetap, maka kedepankan asas praduga tidak bersalah dalam pemberitaan," ujar Nasir kepada wartawan di Jakarta, Rabu (15/7/2020).

Hal ini disampaikannya ketika diminta menanggapi kasus hukum tentang dugaan pamalsuan label SNI, yang masih dalam proses penyidikan di Polda Metro Jaya. Namun oleh beberapa media massa, sudah menyudutkan pengusaha Kimin Tanoto dengan pemberitaan sepihak, yang kemudian Harmaein Lubis selaku kuasa hukum Kimin Tanoto telah menyampaikan sanggahan dalam membela kliennya tersebut.

"Iya tidak bisa main vonis, percayakan kepada penegak hukum, kan sekarang masih berjalan," tutur politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

Anggota DPR senior dari daerah pemilihan Nanggroe Aceh Darussalam ini menerangkan, asas praduga tak bersalah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disingkat KUHAP dan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

"Di dalam KUHAP, asas praduga tak bersalah dijelaskan dalam Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c dimana Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap," ulas Nasir.

Kemudian dalam Undang-Undang Kehakiman, lanjut Nasir asas praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 8 ayat 1, menegaskan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah.

"Jadi hukumnya wajib dianggap tidak bersalah, sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap," pungkas Nasir.***