JAKARTA - Keberadaan transportasi online di Indonesia memunculkan polemik tersendiri. Meski dibutuhkan masyarakat, kehadiran transportasi online ditentang oleh kelompok transportasi konvensional. Bahkan di beberapa daerah telah muncul demo dari transportasi konvensional yang mengarah adanya konflik dengan transportasi online. Komite II DPD RI menganggap permasalahan tersebut muncul karena sampai saat ini belum ada regulasi tegas pemerintah yang mengatur keberadaan transportasi online.

Ketua Komite II, Parlindungan Purba, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) hari Selasa (25/4) dengan Sesditjen Perhubungan Darat, Hindro Surahmat, dan Direktur Angkutan Multimoda Ditjen Perhubungan Darat, Cucu Mulyana, mengatakan bahwa keberadaan transportasi online memancing adanya konflik di beberapa daerah seperti Bandung, Yogyakarta, Medan, Tangerang dan Bali. “Permenhub nomor 32 Tahun 2016 memang mengatur transportasi online wajib berbadan hukum, dan mengikuti ketentuan transportasi umum. Tetapi Permen ini belum mampu menjadi solusi atas polemik keberadaan transportasi online,” ujarnya.

Senada dengan Parlin, Senator asal Bali, Kadek Arimbawa juga menilai pemerintah belum secara tegas membuat regulasi mengenai transportasi online. Hal tersebut mengakibatkan muncul konflik di berbagai daerah. Dirinya mencontohkan adanya demo besar-besaran di Bali akibat munculnya transportasi online. Bahkan demo tersebut memunculkan adanya konflik antar pelaku transportasi. “Keberadaan demo yang tidak berakhir di Bali akan merusak citra pariwisata Bali yang juga berpengaruh terhadap pariwisata di Indonesia,” ucapnya.

Kadek Arimbawa meminta agar keberadaan transportasi online didahului oleh adanya regulasi terlebih dahulu. Namun sampai saat ini yang terjadi transportasi online dibiarkan beroperasi tanpa adanya regulasi yang tegas dan mengikat. Hal tersebut tidak memberikan keadilan bagi transportasi konvensional. “Saya tidak menolak kemajuan teknologi ini, tapi aturannya dijalankan, baru menjalankan transportasi online-nya. Aturannya masih belum jalan, tapi transportasinya sudah jalan, ini yang salah,” tegasnya.

Menanggapi hal itu, Sesditjen Perhubungan Darat, Hindro Surahmat, mengakui bahwa perkembangan regulasi tidak dapat mengimbangi kemajuan teknologi informasi. Untuk mengakomodir munculnya transportasi online, Kementerian Perhubungan telah mengeluarkan Permen Nomor 32 Tahun 2016 dan diperbarui dengan Permen Nomor 26 Tahun 2017.

Keberadaan permen tersebut bertujuan untuk menciptakan kesetaraan angkutan online dan non online. “Penyelenggaraan angkutan umum harus berbadan hukum. Kami mendorong agar angkutan yang dilakukan tidak berbasis pada perorangan, tetapi perusahaan yang berbadan hukum,” ujarnya.

Saat ditanya mengenai murahnya tarif transportasi online, Hendro mengakui bahwa dirinya tidak bisa meminta laporan mengenai dasar penentuan tarif transportasi online. “Untuk masalah tarif, kami juga telah mencoba untuk membukanya, tetapi tidak bisa, katanya disubsidi. Kami khawatir ini mengarah pada adanya monopoli, melalui predatory pricing,” ujarnya.

Sedangkan menurut Direktur Angkutan Multimoda Ditjen Perhubungan Darat Cucu Mulyana, Permen 26 Tahun 2017 mengatur bahwa angkutan transportasi online dimasukkan dalam angkutan sewa khusus. Karena pelayanannya mirip dengan taksi biasa. Dirinya juga mengatakan bahwa dalam Permenhub 26/2017 sudah diatur mengenai 11 bidang yang belum terdapat di Permenhub 32 Tahun 2016. Seperti jenis angkutan sewa, kapasitas silinder mesin kendaraan, batas tarif dan batas kendaraan (kuota) angkutan sewa khusus, kewajiban STNK berbadan hukum, KIR, kewajiban memiliki pool, bengkel, pengenaan pajak untuk perusahaan aplikasi, akses digital dashboard dan saksi. Kesemua bidang tersebut harus dilakukan oleh transportasi online.

“Dalam PM 26 ada masa transisi. Setelah itu penegakan hukum akan kami lakukan. Tanggal 1 April, Permen ini diberlakukan dengan diterapkan KIR, akses digital dashboard, dan stiker RFID sampai 1 Juni 2017 dan penyesuaian pajak kendaraan, tarif, perubahan STNK, kuota dan batasan kendaraan dengan batas waktu 1 Juli 2017,” ucapnya.

Cucu menambahkan perusahaan yang menaungi transportasi online tidak menganggap dirinya sebagai perusahaan transportasi, tetapi hanya perusahaan yang berbasis penyediaan aplikasi. Sementara keberadaan perusahaan aplikasi itu dibawah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), bukan Kementerian Perhubungan. “Oleh karena itu terkait penataan transportasi online, membutuhkan koordinasi dengan Kominfo,” tutupnya. ***