JAKARTA - Anggota DPRD terpilih Kabupaten Kampar, Riau, dari PDI Perjuangan Morlan Simanjuntak melaporkan petinggi partainya ke Bareskrim Mabes Polri.

Ia mengklaim dipecat dari PDIP lantaran difitnah telah melakukan pidana Pemilu berupa politik uang.

Kuasa hukum Morlan Simanjuntak, Kamarudin Simanjuntak menjelaskan alasan pemecatan kliennya bukanlah politik uang, melainkan terkait dengan permintaan uang oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.

Perkara ini, kata Morlan, diduga bermula saat Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto meminta sejumlah uang kepada kliennya. Terkait dengan laporan itu, belum ada pernyataan resmi dari Hasto terkait tuduhan itu.

"Setelah terpilih dia (Morlan) juara satu (terpilih sebagai anggota DPRD) ada yang meminta uang kepada dia dari Kesekjenan PDIP," kata Kamarudin kepada wartawan di Bareskrim Mabes Polri, Senin (10/2).

Ketika ditanya kembali tentang permintaan uang itu, Kamarudin menegaskan, orang yang meminta uang tersebut merupakan suruhan Hasto.

"Sama Hasto Kristiyanto melalui anak buahnya, yang salah satu ditangkap oleh KPK," katanya.

Usai Gaji Pertama

Padahal, kata Kamarudin, kliennya menyanggupi permintaan itu dengan catatan uang diberikan usai dirinya mendapat gaji pertama selaku anggota DPRD kab Kampar.

"Rupanya jawaban akan membayar setelah gajian itu tidak disuka oleh kesekjenan. Maka keluarlah surat pertama menunda pelantikannya dari Yasonna Laoly selaku Menteri dan juga selaku Ketua DPP Hukum dan HAM PDIP," kata dia.

Kendati demikian, Ia enggan merinci nominal jumlah uang yang diklaim diminta oleh Hasto tersebut. Ia meminta publik menunggu untuk pihaknya dapat menghadirkan Morlan ke publik.

Oleh sebab itu, perkara tersebut akhirnya merembet pada dugaan fitnah oleh petinggi PDIP yang tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Nomor 22/KPTS/DPP/XII/2019. 

Dalam surat yang ditandangani oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Sekjen PDIP Hasto Kristyanto, Kamarudin menjelaskan bahwa kliennya dipecat dengan alasan karena telah ditetapkan sebagai narapidana pemilu akibat politik uang atau pemalsuan dokumen.

"Surat pemecatan itu isinya palsu di butir lima yang menyatakan klien saya dipecat dengan alasan karena dia melakukan tindak pidana pemilu dan politik uang," tegas dia.

Menurutnya, hal itu terbantahkan dengan penerbitan surat dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Kampar.

Dalam surat dari Bawaslu Kabupaten Kampar tertanggal 29 Januari 2020, Nomor 001/RI/NIK.04/HK.01.00/I/2020, Kamaruddin mengklaim bahwa kliennya telah dinyatakan tidak pernah melakukan tindak pidana Pemilu atau politik uang sebagaimana yang disebutkan.

"Artinya tidak terbukti, karena kalau untuk bisa seseorang dikatakan narapidana kan harus dilapor dulu ke Bawaslu dan Gakkumdu," jelas dia.

Ia mengaku telah membawa perkara tersebut ke Mahkamah Partai Politik sejak Desember tahun lalu. Namun, hingga saat ini, pihaknya belum menerima panggilan untuk sidang.

"Sampai sekarang 10 Januari 2020 tidak disidang-sidang walaupun sudah berulang kali kami tanyakan kapan sidangnya," kata dia.

Akhirnya, kata Kamarudin, kliennya mencoba untuk melaporkan perkara itu ke polisi lantaran sudah mengirimkan somasi beberapa kali kepada petinggi partai, namun tidak ditanggapi.***