ANIES Bawesdan memang aktor politik yang jeli mengkomunikasikan dirinya dari berbagai sisi. Saat masyarakat cemas dengan dinamika demokrasi di negeri tercinta, Anies mempublikasikan foto sedang membaca buku bertajuk 'How Democracies Die' atau 'Bagaimana Demokrasi Mati'.

Foto Anies itu sebenarnya tampak sederhana. Namun karena pejabat di Indonesia jarang foto sedang membaca buku, maka foto itu mendapat apresiasi dari masyarakat.

Selain sederhana, foto Anies juga menekankan pejabat yang bukan birokrat. Anies ingin memberi pesan, pejabat itu harus terus menerus mengisi isi kepala dengan membaca.

Dalam konteks komunikasi politik, Anies tampaknya ingin mengubah citra pejabat yang selama ini kaku dan digambarkan tahu segala hal. Dengan membaca, gambaran sosok yang serba tahu akan pupus dengan sendirinya.

Namun dari semua itu, respons besar dari masyarakat disebabkan judul buku itu sesuai dengan persoalan yang menjadi kehawatiran sebagian besar masyarakat. Masyarakat menilai apa yang dirasakannya tentang demokrasi seolah dirasakan Anies.

Disini terjadi konvergensi antara Anies dan sebagian masyarakat dalam kegusaran dinamika demokrasi di Indonesia. Konvergensi ini menciptakan ikatan psikologis dan sosiologis masyarakat kepada Anies.

Meski demikian, tentu ada saja anggota masyarakat yang merespon negatif tampilan Anies dalam foto tersebut. Mereka ini umumnya memang sudah sejak awal memiliki sikap awal (predisposisi) yang negatif. Orang-orang seperti ini tidak akan pernah melihat tampilan Anies dari sisi positif.

Dengan sikap awal negatif, Anies yang senyum saja dapat dipersepsi oleh mereka sedang meledek. Karena itu, apa pun yang dilakukan Anies akan dinilai negatif.

Jadi, munculnya pro dan kontra terhadap foto Anies menjadi wajar. Sebab, ada yang sikap awal positif dan negatif kepada Anies.

Penulis:

M. Jamiluddin Ritonga

Penulis Buku dan Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul

***