JAKARTA - Anggota Badan Legislasi DPR RI Abdul Wahid ikut membahas dan mengesahkan UU Cipta Kerja sebagai perwakilan dari Fraksi PKB. Menurutnya, UU ini mengakomodir kepentingan petani kelapa sawit.

Dalam Klaster sumberdaya UU Ciptaker, keterlanjuran kebun kelapa sawit yang berada dalam klaim kawasan hutan, baik itu Hutan Produksi Konversi (HPK), Hutan Produksi Tetap (HP) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) akan dibebaskan dari klaim kawasan hutan. 

"Karena sudah terlanjur digarap ya harus ada solusi, jika petani yang menggarap maksimal 5 Ha, ya tinggal dilaporkan, bisa di sertifikatkan tetapi tidak boleh jual. Jika yang menggarap perusahaan denda berlaku Rp.5-15 juta/Ha, izin boleh dilanjutkan dan ada pajak untuk daerah juga," kata Anggota DPR RI Dapil Riau 2 ini, melalui rilis yang diterima GoRiau.com, Minggu (11/10/2020).

Lantas, jika kebun kelapa sawit itu berada di klaim kawasan hutan lindung dan konservasi, lanjutnya, pemerintah akan memberikan toleransi selama satu daur.

"Untuk yang terlanjur menggarap dikawasan Hutan Lindung dan konservasi ditoleransi selama satu daur masa tanam, setelah itu harus dikembalikan ke negara, untuk perusahaan tetap berlaku denda," ujar pria asal Indragiri Hilir (Inhil) ini.

Masih menurut Wahid, solusi bagi kebun perorangan yang tumpang tindih dengan konsesi atau Hak Guna Usaha (HGU), adalah luas HGU atau konsesinya yang dikurangi, bukan petani kelapa sawitnya yang diusir.

"Nah bagi lahan HGU yang tumpang tindih, konsesi HGU yang dikurangi, Sebab tidak mungkin kelapa sawit itu ditebangi, semuanya harus saling azas manfaat. Perkiraan kita, Negara akan mendapatkan dana sekitar Rp250 triliun dari hasil pembayaran itu dan yang paling penting lagi, semua pemilik kebun mendapat kepastian hukum," katanya.

Selama ini kata Wahid, yang diuntungkan oleh klaim kawasan hutan itu justru hanya oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan sisi abu-abu ketidakpastian hukum tadi.

"Pendapatan Asli Daerah (PAD) seperti Riau kecil dari sektor kebun kelapa sawit, karena klaim kawasan hutan tumpang tindih tadilah. Sementara di sisi lain, sejumlah oknum yang kenyang," katanya.

Masih soal kelapa sawit, Wahid menyebut bahwa perusahaan yang didapat dari pemerintah (HGU), wajib membuat kebun pola kemitraan 20 persen. 

Tapi kalau lahan itu beli sendiri dan kemudian diurus Izin Usaha Perkebunan (IUP)-nya, kemitraan tetap harus ada, tapi lahan untuk kemitraan itu bersumber dari lahan masyarakat yang akan menjadi mitra.

"UU ini jadi semacam karpet merah, penuh dengan kepastian hukum bagi investasi. Mudah-mudahan dengan adanya UU ini, investasi yang masuk ke Indonesia akan melonjak," kata Ketua DPW PKB Riau ini.

Sebab itu tadi, urus izin tidak perlu lagi pakai ketemu orang, karena aturan semacam ini tentu akan menyebabkan birokrasi yang koruptif dan membuat pada investor tidak nyaman.

Selama ini, kata Wahid, investasi tidak tumbuh dari ketidakpastian hukum, khususnya di sektor kehutanan dan perkebunan.

Regulasi tumpang tindih semacam ini, kata Wahid, yang membuatnya angkatan kerja di Indonesia menjadi tinggi, banyak yang akhirnya cari kerja di luar Negeri.

“Tapi Insya Allah dengan adanya UU ini, investasi semakin tumbuh dan tenaga kerja terserap,” harapnya.***