BATAM - Diduga ulah oknum-oknum pejabat BP Batam, PT Perambah Batam Expresco mengalami banyak kerugian. "Kita sudah tiga kali bayar uang muka WTO tapi lahan yang kita minta tidak sesuai dari rencana awal. Tak ada jalan lain, kasus ini akan kita bawa ke jalur hukum," kata Direktur PT PBE, Surya Sugiharto Nugroho, ST, Jumat (23/10).

Kasus 'jual-beli' lahan di BP Batam yang sarat dengan permainan tidak sehat yang diduga diperankan oknum-oknum pejabatnya bukan kali ini saja terjadi. Sudah banyak perusahaan yang menjerit, namun mereka tak bisa berbuat banya. PT Perambah Batam Expresco (PBE) merupakan salah satu korban dari kecurangan itu.

Berawal dari tahun 2005, ketika Ismeth Abdullah menjabat kepala Badan Otorita Batam, PT PBE mendapat alokasi lahan di kawasan Sungai Panas seluas kurang lebih 4 hektar. TF yang ketika itu masih staf biasa (bawahan Harlas) menjadi saksi turun ke lapangan melakukan pengukuran luas lahan. Selanjutnya, PT PBE membayar uang muka WTO (Wajib Tahunan Ortorita) sebesar Rp 159 juta dengan no faktur:136/fuh-PL/IV/2005 yang disetorkan ke rekening no 10910011362.

Kemudian pada tahun 2013 PT PBE membayar lagi uang muka sebesar Rp 101.500.000 dengan no faktur A.0069051304 tanggal 13 Juni 2013 dengan validasi nomor 10908-1090851-1090801-11309-12/06/2013. Dan terakhir faktur nomor .0003061502 tanggal 5 Juni 2015 sejumlah Rp 101.500.000 dengan nommor validasi 10908 109085/1090801-24 09 08/06/2015.

Namun, muncul masalah. Lahan tersebut tidak bisa dieksekusi lantaran diklaim oleh masyarakat tempatan sebagai kampung tua.

Akhirnya, PT PBE di tahun 2005 mengajukan permohonan pengganti lahan di lokasi Kabil seluas 7 hektar yang sudah ditandatangani Benyamin Baloh, dan Kasubdit nya waktu itu Baskoro, serta orang hukumnya Ahmad Dahlan. Namun, karna terkendala hutan lindung, pihak OB menunda dengan alasan terbentur dengan RT/RW. PT PBE diminta bersabar.

Seiring perjalanan waktu, PT PBE pun bersabar, sampai akhirnya BP Batam mengabulkan permohonan lahan pengganti yang berlokasi di Kabil tersebut. Namun setelah dibayar WTO 30 tahun, IP (Izin Prinsip) yang diteken Kepala BP Batam Mustafa Wijaya bernomor 100/IP/KA/8/2015 tanggal 6 Agustus 2015 seluas 18 ribu meter persegi dan IP Nomor 101/IP/KA/8/2015 seluas 35 meter persegi--total 5,3 Ha, ternyata lokasi lahan digeser ke belakang, tidak sesuai rencana awal. Sementara lahan yang menurut bagian perencanaan BP Batam, memang sudah di plot untuk PT PBE, justru diberikan kepada pihak lain, dalam hal ini PT Cunghi Kaya Jaya, yang diduga kuat pemiliknya bernama Ahi.

Bahkan Ahi sudah membayar faktur uang muka 10 persen. Tapi tanpa disadarinya lahan tersebut diperjualbelikan dan malah ditawarkan ke pihak PT Perambah dengan harga 50 dollar singapura per meter. "Dari fakta-fakta itulah kami mengatahui bahwa lahan tersebut sudah diberikan ke orang lain dalam hal ini PT Cunghi Kaya Jaya dengan pemilik bernama Ahi," ungkap Surya Sugiharto Nugroho, geram.

Mendapat tawaran itu, pihak PT PBE kaget, "Kok mahal sekali,". "Ialah, karena kita kan harus membagi uang nya lagi sama orang dalam," sebut Ahi sebagaimana ditirukan pihak PT PBE yang berkomunikasi dengan Ahi.

Situasi ini membuat PT PBE geram dan kesal kepalang tanggung. "Kenapa lokasi kita yang tadinya sudah direncanakan untuk PT PBE, kok tiba-tiba bergeser ke bawah (jurang). Padahal kita sudah bayar WTO 30 tahun. Dan yang lebih mengherankan lahan kita yang tadinya berada di posisi atas, justru diberikan ke perusahaan lain," kata Surya Sugiharto Nugroho dengan nada kesal bercampur emosi.

Menanggapi permasalahan ini, anggota Komisi I DPRD Batam Harmedi angkat bicara. Politisi yang cukup vocal dari partai Gerindra itu meminta PT PBE membuat laporan ke DPRD Batam (Komisi I). "Atas dasar apa mereka menggeser lahan. Saya curiga ini hanya soal fee yang lebih besar dari perusahaan lain. Praktek seperti ini sudah menjadi rahasia umum di BP Batam yang dimainkan oknum-oknum pejabat khususnya di bagian pengalokasian lahan," ungkap Harmedi. "Kita di Komisi I pun selama ini kurang dihargai mereka yang merasa super body,"

Untuk menindaklanjuti kasus ini, Harmedi siap memanggil pejabat-pejabat BP Batam untuk hearing. ''Saya pastikan akan kita panggil mereka, terutama Istono dan pejabat lainnya. Dan tak bisa diwakilkan," tegas Harmedi melalui sambungan seluler, minggu lalu.

Terpisah, Ketua Biro antar lembaga LPPRN (Lembaga Pemantau Penyelenggaraa Negara) RI, Wilayah Riau-Kepri, Hondro blak-blakan akan melaporkan pejabat-pejabat BP Batam khususnya orang lahan, yakni Istono, Nanang dan Toni, ke KPK. "Kita sudah mengantongi sejumlah data permainan lahan atau mafia lahan di BP Batam. Dan dalam waktu dekat saya akan ke Jakarta mengantarkannya ke KPK," kata Hondro. "Namun lantaran kabut asap yang mengganggu penerbangan di Pekanbaru, terpaksa saya lewat Padang," ujar penggiat anti korupsi ini sembari mengatakan laporan juga akan ditembuskan ke Kejati Kepri, Polda Kepri, DPRD Kepri, dan DPRD Batam.

Hondro menduga, bahwa permainan kotor soal pengalokasian lahan ini tidak diketahui Kepala BP Batam, Mustafa Wijaya. "Saya yakin pak Mustafa tidak tau ini. Yang 'nakal' itu adalah para staf nya terutama di bagian lahan. Mereka memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi dengan cara 'main mata' dengan para pengusaha atau investor," tambah Hondro.

Terkait PT PBE yang menempuh jalur hukum mendapat dukungan dari praktisi hukum Dr Suhendro SH MHum. "Itu langkah yang tepat. Tapi harus didukung dengan bukti-bukti yang valid agar gugatan tidak sia-sia nantinya. Termasuk soal melaporkan ke KPK oleh lembaga anti korupsi, itu sah-sah saja, karena KPK akan membuka pintu terhadap adanya indikasi korupsi di semua lini, asalkan di back up dengan data dan bukti yang tidak diragukan validitasnya, sekurang-kurangnya dua alat bukti," ujar Suhendro, pakar hukum yang meraih gelar doktor dari UII Yokyakarta itu. (tim)