PEKANBARU, GORIAU.COM - Ditemukannya berbagai titik api di kawasan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil dan Bukit Batu di Kabupaten Bengkalis dan Siak sangat memprihatinkan. Apalagi, pelakunya adalah pejabat dan aparat, karena itu tim harus bisa mengungkapkan dengan tegas dan melaporkannya ke Unesco karena biosfir itu merupakan paru-paru dunia yang sudah diakui oleh Unesco.

Demikian dikatakan Presiden Mahasiswa Universitas Riau, Zulfa Hendri melalui rilisnya kepada GoRiau.com, Sabtu (5/4/2014).

Dikatakan, pengawasan terhadap wilayah ini sebenarnya sudah diatur kelembagaannya melalui SK Gubernur No: Kpts.920/V/2010 tanggal 14 Mei 2010 tentang Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil - Bukit Batu.

Pada saat penetapan wilayah ini sebagai cagar biosfer, tim ini sangat intens memperjuangkannya sampai ke Unesco. Sehingga masyarakat internasional sepakat untuk menjadikan wilayah ini sebagai paru-paru dunia.

Ketika wilayah ini mengalami kebakaran dahsyat dan berbagai penjarahan terhadap kayu-kayu alam di cagar biosfer, peran tim sebenarnya sangat diharapkan.

''Sayangnya, beberapa komponen yang ada dalam tim justru diduga terlibat dalam ''penghancuran'' cagar biosfer pada tahun 2014 ini. Kita berharap Gubernur Riau dapat mengevaluasi kerja-kerja tim tersebut sehingga tidak terkesan hanya menginginkan proyek-proyekan semata tetapi benar benar dapat konsen kepada penjagaan dan pemeliharaan wilayah cagar biosfer tersebut secara berkesinambungan sebagai salah satu paru-paru dunia,'' ujarnya.

Hal yang lebih menyedihkan lagi, tambahnya, adalah banyaknya oknum TNI dan Polri yang terlibat dalam perambahan kawasan paru-paru dunia tersebut untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Oknum-oknum tersebut bukanlah yang berpangkat rendah saja, tetapi perwira perwira tinggi justru di duga ikut terlibat mulai dari Kolonel sampai ke Jenderal.

Untuk itu Tim yang dibentuk oleh Gubernur Riau harus berani mengungkapkan fakta-fakta ini sampai ke Unesco, supaya pemerintah Indonesia mengambil tindakan tegas terhadap perambah - perambah dan perusak paru-paru dunia tersebut. Ini menuntut keberanian tersendiri dari tim dan ijtihad politik dari Pemerintah.

Sampai hari ini kita belum mendengar upaya kongkrit dari Tim Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu terhadap kasus ini sehingga masyarakat masih menunggu-nunggu karya nyatanya. Tim ini tidak harus dibubarkan jika kurang bekerja, yang penting kepeduliannya terhadap penanganan kejahatan asap yang sudah sangat menzolimi masyarakat mesti ditingkatkan.

Sebelumnya, Executive Director Man and The Biosphere (MAB) UNESCO-Indonesia Yohanes Purwanto dalam keterangan pers yang disampaikan di Gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Kamis mengatakan, kerusakan caat biosfir ini telah menyebabkan kehilangan keanekaragaman hayati.

''Kami belum bisa tahu juga seberapa besar potensinya. Namun yang jelas membutuhkan waktu ratusan tahun untuk memperbaikinya," katanya.

Kerusakan habitat flora dan fauna termasuk habitat harimau sumatra, menurut dia, merupakan kerugian besar. Begitu pula ancaman kerusakan tata air dan masalah asap.

Ia mengatakan penelitian untuk mengumpulkan data dasar keanekaragaman hayati di kawasan cagar biosfer telah dilakukan. Namun penelitian harus terus dilakukan untuk menggali lebih dalam dari masing-masing potensi kekayaan keanekaragaman hayati yang ada di sana.

"Kawasan ini sangat rentan, karena kondisi gambut dan penjagaannya yang sangat kurang, terutama di zona inti. Saya lihat masih ada open access bekas HPH yang pemerintah belum tetapkan siapa yang harus kelola, ini yang jadi pintu perambahan," ujar dia.

Sementara itu, peneliti senior LIPI Endang Sukara mengatakan harga keanekaragaman hayati sangat tinggi. Semakin banyak ilmu pengetahuan dilibatkan meneliti satu potensi keanekaragaman hayati maka semakin tinggi nilai potensi hayati tersebut.

"Sekarang ini kita jaga saja dulu, jangan sampai hilang. Kami maunya ada investasi masuk tapi sampai sekarang tidak ada (investasi) yang masuk ke sana," ujar Endang.

Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu memiliki luas 178.722 ha, yang pembentukannya digagas oleh perusahaan industri kehutanan yang beroperasi di Riau. Cagar biosfer tersebut diklaim merupakan kawasan yang unik karena adanya kolaborasi pengelolaan antara swasta dan pemerintah.

Cagar biosfer itu menyatukan dua kawasan konservasi, yakni Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil seluas 84.967 ha dengan Suaka Margasatwa Bukit Batu seluas 21.500 ha yang kemudian menjadi zona inti.

Zona penyangga yang berstatus hutan produksi yang tidak ditebangi lagi seluas 72.255 ha. Sedangkan pada zona penyangga dahulu pernah terbit izin yang kini sudah kedaluwarsa, seperti bekas dari PT Dexter Timber Perkasa Indonesia (31.745 ha), PT Satria Perkasa Agung (23.383 ha), PT Sakato Pratama Makmur (12.302 ha), dan PT Bukit Batu Hutani Alam (5.095 ha).

Selain itu, konsesi hutan tanaman industri PT Arara Abadi dari Sinar Mas Group juga berada di sekeliling cagar biosfer tersebut berupa hamparan kebun akasia yang membentuk seperti sabuk.

Berdasarkan penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesai (LIPI) tahun 2007, kawasan Cagar Biosfer GSK-BB ini memiliki keanekaragaman hayati sekitar 126 jenis tumbuhan, 8 jenis reptil, sekitar 150 jenis burung, 10 jenis mamalia dan Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) yang terancam punah. (rls)