JAKARTA -- Setelah Partai Masyumi dibubarkan pada September 1960, Buya Hamka menulis sebuah artikel berjudul ''Maka Pecahlah Muhammadiyah''. Artikel yang terbit di harian Abadi itu, merupakan ungkapan kekecewaan Hamka terhadap sejumlah tokoh Muhammadiyah yang dinilainya memilih takluk kepada penguasa yang telah membubarkan paksa Masyumi.

Benarkah Muhammadiyah pecah ketika itu, seperti yang ditulis Hamka? Berikut ulasannya, seperti dikutip Goriau.com dari Republika.co.id, Jumat (3/12/2021).

Parsyarikatan Muhammadiyah didirikan KH Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 di Yogyakarta. Pada 18 November 2021, Muhammadiyah berusia 109 tahun. Sejak era kolonial, revolusi, dan periode-periode kepemimpinan masing-masing presiden RI, hingga kini, entitas yang mengusung dakwah berkemajuan itu terus berperan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

Pada masa Orde Lama, Muhammadiyah sempat 'berjarak' dengan penguasa. Ceritanya bermula dari Partai Masyumi, yang di dalamnya Muhammadiyah menjadi salah satu unsur utama.

Berbicara tentang Masyumi, tidak lepas dari dinamika politik sejak medio 1950-an. Kala itu, kekuasaan politik di Indonesia kian terpusat pada sosok Presiden Sukarno. Pada 1 Desember 1956, Bung Hatta meletakkan jabatan wakil presiden. Mundurnya negarawan berdarah Minang itu disebabkan adanya perbedaan yang prinsipil di antara kedua Dwi-Tunggal tersebut.

Hatta tidak sependapat dengan Bung Karno bahwa revolusi belum selesai. Retorika tersebut justru menimbulkan kesan mengesampingkan pembangunan. Dalam hemat Hatta, revolusi sudah selesai dengan tercapainya kermerdekaan RI. Pendapat lain mengatakan, Hatta mundur karena merasa, dalam sistem kabinet parlementer, presiden hanya bertugas sebagai kepala negara. Maka, fungsi wapres otomatis tidak diperlukan lagi.

Mundurnya Hatta membuat ''girang'' para politikus komunis. Dalam Pemilu 1955, Partai Komunis Indonesia (PKI) menduduki posisi keempat terbesar. Di urutan pertama hingga ketiga, ada PNI, Masyumi, dan Partai Nahdlatul Ulama.

Lebih sukacita lagi PKI tatkala pecah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada Februari 1958. Munculnya PRRI dilatari ketidakpuasan tokoh-tokoh di daerah. Mereka menganggap, pemerintah pusat telah menganaktirikan daerah dalam pembangunan nasional. Di samping itu, Bung Karno dinilai terlalu dekat dengan PKI, yang pada 1948 dahulu justru memberontak ketika Indonesia sedang digempur Belanda.

Dalam struktur PRRI, terdapat tokoh-tokoh penting Masyumi. Memanfaatkan kesempatan, PKI lalu membujuk Bung Karno agar hak hidup Masyumi dicabut untuk selama-lamanya. Pada 17 Agustus 1960, Presiden mengeluarkan Keppres No 200/1960. Isinya memerintahkan Masyumi untuk bubar. Dalih utamanya, beberapa pemimpin partai berlogo bulan sabit-bintang itu terlibat dalam Peristiwa PRRI. Sementara, pimpinan Masyumi yang baru di bawah Prawoto Mangkusasmito tidak mengutuk mereka yang terlibat itu.

Sebagai partai kaum modernis, tentunya tidak ada pilihan selain taat konstitusi dan hukum. Sejak 13 September 1960, Pimpinan Pusat Masyumi menyatakan bahwa Partai Masyumi bubar.

Pro-kontra di Muhammadiyah

Wajarlah bila Muhammadiyah termasuk yang kecewa dengan keputusan otoriter Bung Karno itu. Salah seorang tokoh Muhammadiyah yang turut menaruh concern akan hal ini ialah Buya Hamka. 

Sebuah berita membuatnya terkejut pada 1960, yakni sesudah pembubaran-paksa Masyumi. Bung Karno dikabarkan menunjuk Moeljadi Djojomartono sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Tak menunggu waktu lama, terjadilah perdebatan atau bahkan pro-kontra di internal Muhammadiyah.

Sebagai catatan, Moeljadi adalah seorang tokoh Muhammadiyah. Ia telah aktif di persyarikatan ini sejak remaja di Solo, Jawa Tengah. Hingga tahun 1959, namanya tercatat dalam struktur Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Ada yang menolak masuknya Moeljadi ke dalam kabinet. Mereka menilai, Muhammadiyah terkesan sudah bertekuk lutut di bawah rezim Bung Karno karena seorang unsur PP masuk di dalam pemerintahan. Hamka termasuk kelompok yang berpandangan demikian.

Namun, ada pula yang secara terbuka mendukung Moeljadi menjadi Menko Kesra. Seorang tokoh Muhammadiyah kelahiran Kauman Yogyakarta, Farid Ma'ruf, termasuk yang memberikan dukungan itu.

Sesungguhnya, antara Hamka dan Farid Ma'ruf bisa dibilang sebaya. Mereka sama-sama kelahiran tahun 1908. Polemik dimulai dengan tulisan Hamka di harian Abadi. Judulnya cukup hangat: ''Maka Pecahlah Muhammadiyah''. Dalam tulisannya itu, tokoh berdarah Minangkabau tersebut menyatakan, ada dua golongan dalam PP Muhammadiyah akibat masuknya Moeljadi ke dalam kabinet. Kedua kelompok yang bertolak belakang itu: golongan istana dan luar istana.

Hamka juga menyebut bahwa Farid Ma'ruf termasuk golongan yang pertama karena berupaya ''membawa Muhammadiyah ke Istana.'' Akibatnya, sesudah artikel itu terbit sebagian warga Muhammadiyah menyudutkan nama Farid Ma'ruf dan tentunya Moeljadi Djojomartono.

Air Mata Hamka

Buku 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi (2014) memuat kisah mengharukan pascaterbitnya tulisan di harian Abadi 1960 itu. Tak lama kemudian, sidang Tanwir Muhammadiyah digelar di Gedung Muhammadiyah Yogyakarta. Forum ini menjadi buruan para wartawan. Sebab, hadir di sana antara lain Buya Hamka dan Farid Ma'ruf.

Tibalah saatnya moderator mempersilakan Hamka naik ke mimbar. Secara tersirat, Hamka dipersilakan untuk memberikan keterangan atau klarifikasi tentang tulisannya, ''Maka Pecahlah Muhammadiyah.'' Di atas mimbar, Hamka berdiri dengan tenang. Untuk sesaat, tidak mengucapkan sepatah kata pun sesudah salam pembuka.

Tiba-tiba, Hamka berurai air mata. Dengan suara tersendat menahan sedih, ia mengakui bahwa perasaannya tersentuh. Segera, tangannya mencari-cari pulpen, lalu menulis di atas secarik kertas. Katanya, semua yang ditulisnya dalam harian Abadi itu bermaksud baik, didorong niatan semata-mata cintanya kepada Muhammadiyah.

Namun, lanjutnya, jika tulisan itu menyinggung perasaan Farid Ma'ruf yang sangat dicintainya, Hamka menyatakan sangat menyesal. Di hadapan hadirin itu, ia meminta maaf kepada Farid Ma'ruf.

Turunlah Hamka dari atas panggung. Selang beberapa saat kemudian, moderator mempersilakan Farid Ma'ruf naik ke atas mimbar. Sebenarnya, guru besar Universitas Gadjah Mada itu telah mempersiapkan berkas-berkas dalam map sebagai ''senjata'' untuk mendebat Hamka. Semula dikiranya, penulis ''Maka Pecahlah Muhammadiyah'' itu akan menyerangnya bertubi-tubi di hadapan peserta sidang.

Ternyata, Hamka justru secara terbuka dan tulus meminta maaf kepadanya. Maka di atas podium, cukup lama Farid terdiam. Lalu, dengan tenang dijelaskannya bahwa Moeljadi pernah menyatakan kepadanya, kesediaan untuk menerima jabatan menteri didasari perenungan saksama. Moeljadi menilai, dengan jabatan itu dirinya dapat menyokong amal-amal sosial Muhammadiyah. Pertimbangan lainnya ialah, dalam kondisi sekarang tetap perlu adanya kerja sama antara Muhammadiyah dan pemerintah pusat.

Farid mengatakan, perbedaan pandangan antara dirinya dan Hamka sebenarnya sama-sama didorong niat baik. Namun, apabila ia dikhawatirkan membawa Persyarikatan ke Istana, ia pun bersedia diberhentikan dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah. ''Dengan ikhlas saya mengundurkan diri dari Pimpinan Pusat....'' katanya.

Belum selesai kalimat itu diucapkan Farid, Hamka segera berdiri dan mengacungkan tangan. '"Pimpinan!'' katanya berseru, ''Jangan Saudara Farid mundur. Kita sangat membutuhkan dia. Saya, Hamka, yang harus mundur ....''

Belum selesai kalimat itu disampaikan Hamka, Farid kemudian turun dari mimbar. Ia lalu berjalan menuju Hamka, hendak memeluknya. Hamka pun menyongsong Farid. Kedua tokoh Muhammadiyah ini berpelukan dengan air mata bercucuran.

Semua hadirin di Gedung Muhammadiyah Yogya tertegun. Lalu menyusul ucapan hamdalah dan tepuk tangan. Sesekali terdengar pekik takbir. Lantas, sidang Tanwir beranjak kepada topik lainnya hingga selesai.

Keesokan harinya, berita di Abadi memuat laporan berjudul: ''Muhammadiyah Tidak Pecah!''.***