PADANG - Perempuan minangkabau diminta untuk bisa menjaga sikap dari 12 larangan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. 12 larangan ini biasa dikenal dengan sumbang duobaleh.

Hal tersebut disampaikan tokoh adat perempuan Minangkabau atau Bundo Kanduang, Puti Reno Raudha Thaib. Disebutnya, sumbang duobaleh ini merupakan aturan adat untuk mengatur tingkah laku seorang perempuan Minang agar tidak menyimpang dari kodrat dan status sosialnya di dalam masyarakat.

Dijelaskannya, sumbang memiliki arti ganjil atau janggal, maksudnya perbuatan yang kurang dan harus dihindari oleh perempuan di Minangkabau, karena akan mendatangkan malu bagi suku dan kaumnya.

Aturan ini, katanya, secara umum mengatur wanita dalam berperilaku di kehidupan sehari-hari. Jika perilaku sumbang ini dapat dihindari, maka seorang wanita dapat dipandang baik dan dihormati di dalam suku dan kaumnya.

"Perempuan yang sering melakukan sumbang duobaleh dianggap tidak sopan atau dalam istilah Minang indak bataratik atau tidak memiliki tata tertib," kata dia di Padang, Minggu, pada webinar yang digelar Pimpinan Wilayah (PW) Persaudaraan Muslimah (Salimah) Sumatera Barat, Minggu  (9/1/2022).

Ia memaparkan jika perempuan Minang sering melakukan perilaku sumbang akan membuat terjatuh ke dalam perilaku salah yang akan menjatuhkan harkat dan martabatnya sebagai wanita terhormat.

Puti Reno Raudha Thaib menjelaskan 12 perilaku sumbang yang harus dihindari oleh wanita Minangkabau tersebut adalah sumbang saat duduk, berdiri, berjalan, berkata, bertanya, menjawab, melihat, makan, berpakaian, bekerja, bergaul dan kelakuan.

Ia memberi contoh beberapa perilaku sumbang, antara lain sumbang wanita itu duduk bersila, mancangkung ataupun mengangkang.

"Idealnya wanita itu duduknya bersimpuh. Itu adalah makna secara fisik, secara tersirat perempuan diharapkan dapat mendudukkan masalah dan menyelesaikannya dengan baik," ujarnya.

Lalu sumbang bagi wanita jika memakai pakaian sempit yang membentuk lekuk tubuhnya. Sumbang bagi perempuan berjalan sendirian, berjalan tergesa-gesa dan berjalan sambil melihat bayangan sendiri yang artinya hanya asyik dengan diri sendiri.

Sementara dalam bekerja, perempuan Minang diharapkan mampu menjahit, menyulam dan memasak.

"Hal ini tidak hanya secara fisik, namun juga secara tersirat perempuan diharapkan mampu menjahit dan memasak, yang bermakna mampu menyelesaikan masalah dengan baik," katanya.

Ia menambahkan jika istri para pejabat atau duta besar akan dikirim untuk belajar etika di sekolah kepribadian, maka di Minang, dengan adanya sumbang duobaleh tadi tidak perlu lagi, karena semua sudah tercakup.

"Kita sudah punya hal itu, aturan etika yang menjaga kaum wanita Minang berperilaku," katanya. ***