RENGAT, GORIAU.COM - Aksi demonstrasi masyarakat Desa Jatiredjo, Kecamatan Pasir Penyu, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau yang terjadi pada hari Kamis 25 April 2013 yang lalu adalah merupakan ekspresi kekecewaan masyarakat, yang bersifat mendesak baik terhadap Pemerintah Kabupaten Inderagiri Hulu, maupun Pemerintah Pusat. Kekecewaan muncul pasca keluarnya pernyataan Kakanwil BPN Riau soal kebun plasma.

Demikian diungkapkan Hatta Munir Ketua LSM MPR Ber- Nas (Masyarakat Peduli Reformasi Berwawasan Nasional) yang merupakan salah satu LSM yang mendampingi masyarakat dalam menuntut kebun plasma terhadap PT TPP.

Dikatakannya, perlu suatu kepastian hukum terkait tuntutan masyarakat terhadap kebun plasma kelapa sawit eks HGU PT Tunggal Perkasa Plantation, sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor : 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, yang mewajibkan kepada perusahaan perkebunan dalam hal ini (PT Tunggal Perkasa Plantation) melakukan kemitraan dengan masyarakat sekitar perkebunan.

Bentuk kemitraan antara lain dengan membangun kebun untuk masyarakat sekitar (kebun plasma) paling rendah seluas 20 persen ( dua puluh persen ) dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan (PTTPP) luasnya 10.244,40 atau minimal seluas 2.000 hektar sesuai Undang-undang Nomor: 18 Tahun 2004 dan Permentan Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007, yang telah dikuatkan dengan surat edaran kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor: 2/SE/XII/2012, tanggal 27 Desember 2012 tentang Persyaratan Membangun Kebun Untuk Masyarakat Sekitar ( Kebun Plasma ) dan melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Corporate Social Responsibility) yang ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional se-Indonesia dan Kepala Kantor Pertanahan se-Indonesia, yang amar dicktumnya antara lain menyatakan setiap perusahaan perkebunan yang mengajukan permohonan hak guna usaha termasuk perpanjangan atau pembaharuan wajib membangun kebun plasma paling rendah seluas 20 persen (dua puluh persen) dari tal luas areal kebun yang di usahakan oleh perusahaan dan melaksanakan tanggung jawab social dan lingkungan (CSR)

Hatta Munir mengatakan kewajiban sebagai dimaksud surat edaran BPN.RI Nomor: 2/SE/XII/2012 tersebut dikecualikan terhadap perusahaan perkebunan yang telah melaksanakan kemitraan dengan masyarakat petani calon penerima kebun plasma di sekitar lokasi perkebunan antara lain kerja sama produksi, pengolahan dan pemasaran, transportasi, kerja sama operasional, kepemilikan saham dan/atau penyediaan jasa pendukung lainnya dan telah melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Corporate Social Responsibility)

Kedua Masyarakat petani calon penerima kebun plasma di sekitar lokasi perkebunan telah memiliki tanah pertanian sekurang-kurangnya 1 (satu) hektar untuk pulau jawa atau 2 (dua) hektar untuk luar pulau Jawa, katanya.

Sedangkan yang ketiga pengecualian sebagaimana di maksud butir 1) dan 2) di dasarkan pada hasil penelitian/analisa Kepala Kantor Wilayah BPN disertai saran dan pendapat, yang dituangkan dalam berita acara statement kakanwil BPN Prov Riau (Ronsen Pasaribu) yang dilansir pemberitaannya oleh media dengan tajuk berita perpanjangan HGU PT TPP tuntas tahun ini seusai menggelar silahturahmi dengan PemKab Inhu beberapa waktu yang lalu menyatakan PT TPP sudah membangun kebun plasma, namun masih ada persoalan dan tanah negara bekas HGU tidak bisa dibagi-bagikan ke masyarakat seenaknya, dan pembangunan kebun pola KKPA dapat dilaksanakan jika masyarakat menyediakan lahan untuk pembangunan kebun, adalah menyesatkan.

Kalau yang dimaksud (Ronsen Pasaribu) PT TPP telah membangun kebun plasma di Desa Redang Seko Kecamatan Lirik Kabupaten Inderagirihulu, objek kebun dimaksud lokasinya berada di luar HGU PT TPP yang dikenal dengan HGU Nomor: 8/6/1981, dan berada dalam kawasan Hutan yang tidak dapat dikonversi menjadi kebun (Hutan Produksi terbatas) yang mana telah diusahakan oleh PT TPP dan Kopsa Redang Seko secara tidak prosudural bertentangan dengan undang-undang Nomor: 41 Tahun 1999 tentang kehutanan (menggunakan kawasan Hutan tanpa izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan) dan telah diproses secara hukum oleh Kementrian kehutanan berdampak kepada kerugian Negara/penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) dari sektor provisi sumberdaya Hutan maupun Dana Reboisasi (Nilai intrisik) sebesar tidak kurang Rp200 miliar, adapun PT TPP adalah termasuk pihak terperiksa disamping Ketua Kopsa Redang Seko

Statemen Ronsen yang menyatakan masyarakat harus menyediakan lahan, untuk membangun kebun plasma adalah menyesatkan dan bertentangan dengan undang2 Nomor: 18 Tahun 2004 tentang perkebunan dan Permentan Nomor: 26 Tahun 2007 tentang pedoman perizinan usaha perkebunan serta bertentangan dengan surat edaran Kepala BPN. RI Nomor: 2/SE/XII/2012 tentang Persyaratan Membangun Kebun Untuk Masyarakat Sekitar (Kebun Plasma) minimal seluas 20 persen dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan, dalam hal ini penafsirannya yang ditekankan dalam undang-undang perkebunan, Permentan dan atau Surat Edaran BPN RI, masyarakat tidak wajib menyediakan lahan perkebunan. Akan tetapi dari luas areal kebun yang diusahakan oleh PT.TPP 10.244,40 hektar , minimal 20 persen (dua puluh persen) wajib dibangun kebun plasma kepada masyarakat sekitar.

Sementara itu PT TPP tidak tidak termasuk kategori yang di kecualikan sebagaimana surat edaranBPN. RI, karena PT.TPP tidak pernah membangun kebun plasma dalam HGU yang dikenal dengan Nomor : 8/6/81 seluas 10.244,40 tidak melaksanakan kemitraan, dan masyarakat tidak memiliki tanah pertanian seluas 2 hektar atau tidak memiliki saham atau kerja sama operasional pengolahan dan pemasaran, transportasi yang seharusnya BPN Prov Riau selaku panitia B dalam risalah perpanjangan HGU PT.TPP melakukan penelitian/analisa langsung kepada masyarakat sekitar yang telah mempunyai wadah berbadan Hukum operasi Citra Mandiri (KCUM) yang di tuangkan dalam berita acara risalah pemeriksaan objeck/subjeck proses perizinan HGU PT.TPP bukan sebaliknya mengaburkanpermasalahan.

Sementara itu Banteng Yudha Pranoto Ketua Umum LSM LP5SBI menyatakan bahwa tanggung jawab sosial melekat kepada pengambil keputusan dalam pemberian izin hak guna usaha yang diterbitkan oleh BPN.RI sebagaimana instruksi Preiden RI Nomor: 2 Tahun 2013 tentang penanganan gangguan keamanan dalam negeri untuk meningkatkan efektifitas penanganan gangguan keamanan dalam negeri secara terpadu sesuai tugas fungsi dan kewenangan berdasarkan peraturan dan perundang-undangan, adalah tanggung jawab pejabat untuk mengambil langkah-langkah cepat tepat dan tegas serta proporsional untuk menghentikan segala bentuk tindak kekerasan akibat konflik sosial dengan mngedepankan aspek Hukum, menghormati norma dan adat istiadat setempat serta menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia dengan merespon secara cepat dan menyelesaikan secara damai semua permasalahan dalam masyarakat yang berpotensi menimbulkan konflik sosial dan guna mencegah lebih dini terjadinya tindak kekerasan, tegasnya. (aun)