JAKARTA - Tampilnya cabang olahraga surfing di Olimpiade Tokyo 2020 telah membawa perubahan besar bagi surfing Indonesia. Kini, masyarakat Indonesia tak sekadar mengetahui surfing sebagai olahraga prestasi tetapi juga memiliki atlet idola Rio Waida yang tampil di Olimpiade musim panas edisi ke-XXXII tersebut.

“Olimpiade membawa berkah bagi surfing karena fenomena luar biasa terjadi setelah Rio tampil di Tokyo. Kini pamor surfing terangkat. Olahraga ini lebih dikenal, bahkan ditonton oleh masyarakat Indonesia,” kata Ketua Pengurus Besar Persatuan Selancar Ombak Indonesia (PB PSOI), Arya Subyakto kepada Tim Media NOC Indonesia pada Kamis (16/9/2021).

Indonesia sudah memiliki surfer andalan sejak 1980-an. Adalah Ketut Menda dan Made Kasim yang menjadi legenda Indonesia. Mereka kerap mengibarkan Merah Putih di single event Internasional, bahkan masuk jajaran surfer yang menempati papan atas dunia. Ketut di posisi 21 dunia dan Made di urutan 23 dunia. Meski demikian, Arya mengakui, tak banyak masyarakat Indonesia mengenal surfing saat itu.

“Bahkan saat kami membawa 2 emas, 1 perak, 3 perunggu di SEA Games 2019, gairahnya tidak seperti sekarang. Kini setiap Rio bertanding dan disiarkan daring, penontonnya bertambah sampai 20 ribu. Mereka dari Indonesia karena kita bisa lihat dari kolom chat,” kata Arya.

Hal tersebut, diakui Arya, tak terjadi jika surfing tak dipertandingkan di Olimpiade. Surfing merupakan satu dari lima cabang olahraga tambahan yang mulai debut di Tokyo. Olahraga ini juga sudah dipastikan bakal dipertandingkan pada Olimpiade 2024 Paris, Los Angeles (2028), dan Brisbane (2032).

Arya berterima kasih kepada Komite Olimpiade Indonesia (NOC Indonesia) yang telah membant PB PSOI sejak kualifikasi di El Savador hingga memenuhi kebutuhan yang diperlukan atletnya di Olimpiade Tokyo. Terlebih lagi, NOC Indonesia bersama Chef de Mission Rosan P Roeslani memercayakan Rio Waida sebagai flag bearer.

“Kami bangga meloloskan atlet pada debut surfing Olimpiade. NOC Indonesia sangat membantu dan memenuhi kebutuhan kami saat Olimpiade, baik memfasilitasi I Ketut Agus Aditya Putra sebagai alternated athlete hingga meneydiakan kamar hotel dadakan karena venue jauh dari athlete village,” kata Arya.

“Kami juga sangat berterima kasih karena NOC Indonesia dan CdM telah memberi kepercayaan kepada Rio untuk menjadi flag bearer pada opening ceremony. Sebab dari situ, mata seluruh masyarakat Indonesia tertuju kepada atlet surfing kami.”

Arya berharap akan semakin banyak masyarakat Indonesia paham bahwa Nusantara memiliki potensi tinggi olahraga surfing. Terlebih, Indonesia memiliki pantai dan ombak yang bagus dan menjadi tujuan peselancar-peselancar dunia dan berpotensi menjadi devisa negara.

Terlebih, Presiden NOC Indonesia Raja Sapta Oktohari sempat bertemu dengan Presiden Asosiasi Selancar Internasional (ISA) Fernando Aguerre di Olimpiade Tokyo. Keduanya sempat membicarakan peluang Indonesia menggelar turnamen kualifikasi untuk Olimpiade Paris.

“Yang perlu diketahui masyarakat Indonesia adalah bertanding di Olimpiade itu tidak mudah, perlu kualifikasi. Kami beruntung karena Pak Okto (sapaan Raja Sapta) sudah sempat bertemu dengan Presiden ISA di Tokyo. Kualifikasi pertama untuk Olimpiade Paris itu tempatnya di El Savador pada 2023. Ada satu slot kosong di kualifikasi kedua dan semoga bisa digelar di Indonesia,” kata Arya.

Indonesia mengirimkan dua surfer ke Olimpiade Tokyo, yaitu Rio dan Ketut. Rio terhenti pada ronde tiga setelah dihentikan surfer tuan rumah peringkat enam dunia Kanoa Igarashi pada laga man-on-man di Tsurigasaki Surfing Beach, 26 Juli. Sementara Ketut yang berangkat dengan status alternated athlete batal berlaga di Olimpiade karena surfer utama dalam kondisi baik untuk bertanding. ***