SELATPANJANG - Pakar lingkungan DR Elviriadi MSi menilai saat ini restorasi gambut sedang jalan di tempat. Padahal, pemerintah Indonesia baru saja membuat kesepakatan dengan negara di dunia, di Paris, soal pelestarian gambut dan emisi karbon.

Demikian disampaikan Elviriadi saat berbincang-bincang dengan GoRiau, Selasa (13/3/2018).

Kata Elviriadi, sekarang restorasi gambut sudah tidak signifikan lagi. Sebab, 70 persen luas gambut sudah dialih fungsikan dan dirombak total.

"Wilayah gambut yang disulap ini, tidak ada yang berani mendekat, konon lagi memperbaiki atau merestorasinya," ungkap Elviriadi.

Kata Ketua Departemen Perubahan Iklim KAHMI Nasional itu lagi, manusia kalau takut seringkali jadi aneh dan naif. Wilayah gambut yang tidak rusak itulah yang dikeroyok ramai ramai sampai bawa-bawa Kyoto University dan bikin laboratorium segala macam.

"Padahal, yang harus ditangani itu gambut (yang) ada di konsesi jadi yang seluas 70 persen itu," ujarnya.

Selain itu, tambah aktivis Muhammadiyah ini, berbagai kesepakatan yang diratifikasi  Indonesia (Rio De Jenairo, Brundland, protokol Kyoto, Conference on Parties, Paris Agenda) yang bercita-cita mengemisi karbon dan menciptakan pembangunan berkelanjutan, tampak sekali tanpa agenda dan implementasi.

Jadi, pertemuan lingkungan hidup dunia yang diikuti Indonesia tersebut kandas di lapangan. Yang tinggal cuma retorika muter-muter waktu diwawancara soal penurunan suhu bumi di bawah 2 derajat dan konservasi energim. Karena, di lapangan sudah crowded, amburadul.

Masih menurut Elv, kekuatan pengendalian oleh birokrat dan Dirjend di KLHK amat lemah. Agenda-agenda green yang dibiayai World Bank, UNDP, UNESCO, APBN, terkesan proyek oriented tanpa ideologi pergerakan dan perubahan. Apalagi ideologi tauhid siap terkorban demi kebenaran.

"Maka, dapat dimaklumi bila Badan Restorasi Gambut (BRG) bin Nazir Foead memilih jalur 'damai tentram' dukung masyarakat kelola gambut, empowering kreasi olahan gambut, dan tak usah main ke 'seberang' walau sumber petaka gambut ada di 70 persen yang dipermak itu," kata dosen Fapertapet UIN Suska itu.

Akibat dari ratifikasi minus aksi dan pembiaran perusakan gambut di Indonesia, maka ambisi emisi karbon dan pengendalian perubahan iklim hanya lip service tanpa kharisma perbuatan. Program restorasi tidak akan berhasil tanpa audit menyeluruh Kawasan Hidrologis Gambut yang terkoneksi secara biogeokimia dan irreversible drying.

"Tanpa rekayasa regulasi, rekayasa teknis, dan kemauan politik serta ideologi religius, Indonesia akan fail sebagai paru-paru dunia, tapi penyumbang gangguan paru-paru karena asap Karhutla gambut merana," katanya di akhir bincang-bincang. ***