PEKANBARU - Meski sudah digaungkan oleh Presiden Jokowi sejak beberapa tahun yang lalu, namun nyatanya program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) belum sesuai dengan yang sudah ditargetkan.

Bahkan, pada tahun lalu, capaian realisasi PSR hanya sekitar 9000 hektar saja, artinya hanya 40 persen dari yang sudah ditargetkan. Untuk tahun ini, pemerintah menargetkan 180 ribu hektar, dan untuk Riau ditargetkan 26.500 hektar.

Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung mengungkapkan ada banyak faktor yang membuat target PSR ini belum tercapai, salah satunya adalah legalitas tanah petani sawit.

Dijelaskan Gulat, total perkebunan sawit di Riau adalah 4,02 juta hektar, dan 2,7 juta hektar diantaranya adalah milik masyarakat, sayangnya 1,6 juta hektar dari 2,7 juta itu masuk dalam kawasan hutan, sehingga tidak bisa mendapatkan program PSR ini.

"Kalau perkebunan yang milik korporasi itu ada sekitar 1,4 juta, dan hanya 33 ribu hektar yang dalam kawasan hutan," ujar Gulat kepada GoRiau.com, Selasa (9/2/2021).

Diakui Gulat, dari 100 persen masyarakat yang sudah mengajukan PSR, 82 persen diantaranya mengalami gagal usul, karena permasalahan legalitas tanah, padahal itu merupakan syarat pertama untuk mendapatkan program ini.

"Mereka sudah terbentur syarat pertama, yaitu harus non-kawasan hutan. Mereka sudah patah hati, padahal sawitnya sudah berusia 20 tahunan lebih," katanya.

GoRiau Ketua umum DPP Apkasindo, Gula
Ketua umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung. (foto: istimewa)

Alasan kedua, sambungnya, kurangnya sosialisasi yang dilakukan kepada petani sawit, bahkan Gulat banyak menjumpai masyarakat yang menyebut bahwa program PSR ini mewajibkan mereka mengagunkan tanahnya.

"Saya jawab, ya enggaklah, ini jadi masalah karena kurangnya sosialisasi ke bawah. Padahal secara persyaratan tidak susah kok, cuma mengajukan secara kolektif, yaitu minimal 50 hektar," tuturnya.

Untuk satu petani, sebutnya, hanya dibatasi sekitar 4 hektar saja, dengan besaran satu hektarnya Rp 30 juta. Artinya, satu KK bisa menerima dana maksimal 120 juta dalam program ini.

"Kalau belum dibentuk KUD, mereka bisa buat kelompok tani, paling dua hari selesai. Uang itu masuk langsung ke rekening petani, bukan ke Dinas Perkebunan atau lainnya," tuturnya.

Uang itu, tegasnya, bukan berasal dari APBD ataupun APBN, namun dari pungutan ekspor yang bukan pendapatan negara bukan pajak, dan dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Alasan ketiga, dijelaskan dia, kurangnya pendamping di masyarakat, karena banyak masyarakat yang tidak tahu prosedur dalam mengusulkan program PSR, sehingga banyak masyarakat yang akhirnya meraba-raba.

"Maju mundur, maju mundur saja jadinya, tapi lebih banyak mundurnya," tegasnya.

Untuk mekanismenya, Gulat menjelaskan ada tiga metode, yakni sistem swakelola, semi pihak ketiga dan pihak ketiga. Namun, yang disarankan oleh pemerintah adalah swakelola, supaya masyarakat mendapatkan keuntungan dari sana.

"Kalau swakelola itu, dia yang menanam dan merawat sendiri. Jadi, mereka dapat gaji dari sana, banyak kok yang sukses pakai metode ini, misalnya di Siak, Sumbar, Sumut dan lainnya," terangnya.

Disinggung terkait adanya kekhawatiran masyarakat yang tidak bisa mendapatkan uang dari kebunnya karena harus menunggu sawitnya berbuah, Gulat menyebut persoalan tersebut hanya dialami 2-5 persen petani saja.

"Kalau boleh jujur, petani itu kan punya 4 hektar lebih, ada yang punya 6 atau 8. Jadi kalau dibangun 4 hektar, masih bisa lah untuk makan," tutupnya. ***