JAKARTA - Anggota MPR dari Fraksi Partai Demokrat, Herman Khaeron berpendapat optimalisasi tugas, wewenang, serta penguatan lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ke depan tergantung pada konsensus anggota DPR, fraksi-fraksi di DPR, dan anggota DPD.

Penguatan MPR bisa dilakukan melalui (revisi) UU MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) atau dengan amandemen (perubahan) UUD.

"Penguatan MPR itu diserahkan kepada konsensus anggota DPR dan komitmen fraksi-fraksi di DPR untuk memperkuat dan memperkaya kewenangan dan tugas MPR sehingga eksistensi MPR semakin diakui dan MPR bisa mengambil keputusan-keputusan yang strategis untuk bangsa Indonesia," kata Herman Khaeron dalam Diskusi Empat Pilar MPR dengan tema Optimalisasi Tugas dan Wewenang MPR di Media Center, Gedung Nusantara III, Komplek Parlemen, Jakarta, Jumat (21/6/2019).

Bagi Herman Khaeron, MPR saat ini tetap sebagai lembaga yang memiliki wewenang tertinggi dibanding lembaga negara lainnya. Seperti kewenangan mengubah dan menetapkan UUD, melantik presiden dan wakil presiden. "Sidang Tahunan MPR merupakan bagian dari eksistensi MPR karena mewujudkan satu forum antara DPR dan DPD," tandasnya.

"Selain itu, tugas Sosialisasi Empat Pilar MPR merupakan tugas MPR untuk menjaga Indonesia berdasarkan Pancasila. Saat ini MPR sedang menggagas untuk mengembalikan garis-garis besar haluan negara," lanjut Herman Khaeron yang juga Wakil Ketua Komisi II DPR RI itu.

Dia menambahkan optimalisasi dan penguatan MPR ke depan tergantung pada konsensus yang ada di DPR. Penguatan khusus bisa diberikan kepada MPR diwujudkan dalam UU MD3. Salah satunya, memberikan kewenangan kepada MPR untuk merumuskan garis-garis besar haluan negara. "Dalam merumuskan kembali UU MD3, anggota DPR bisa memberikan kewenangan kepada MPR untuk menetapkan garis-garis besar haluan negara," katanya.

Menurut Herman, fungsi dan tugas MPR masih bisa diperluas tidak hanya melaksanakan sidang tahunan (forum bersama DPR dan DPD) menjelang hari Kemerdekaan RI.

"Penguatan itu diserahkan kepada konsensus anggota DPR nanti dan komitmen fraksi-fraksi di DPR untuk memperkuat dan memperkaya sehingga eksistensi MPR semakin diakui dan MPR bisa mengambil keputusan-keputusan yang strategis untuk bangsa Indonesia, seperti keputusan tentang garis-garis besar haluan negara," paparnya.

Penguatan MPR juga bisa dilakukan dengan melakukan amandemen kelima UUD. "Apakah perubahan UUD ini akan memberikan kewenangan yang lebih kuat kepada MPR, tentu sekali lagi dikembalikan kepada anggota DPR/DPD dan konsensus fraksi-fraksi di DPR," tukasnya.

Sementara itu, anggota MPR lainya, Rambe Kamarulzaman mengatakan, penguatan kepada MPR bisa dilakukan tanpa mengubah UUD. Caranya, dengan merekomendasikan UU khusus tentang MPR sehingga MPR memiliki kewenangan, tugas, dan kewajiban yang jelas. Misalnya, aturan tentang jumlah pimpinan MPR. MPR pernah memiliki 11 pimpinan, kemudian berubah menjadi lima pimpinan, dan sekarang delapan pimpinan MPR.

"Perlu ada UU khusus tentang MPR," kata Rambe.

Soal lainnya, adalah perlunya Ketetapan MPR tentang pelantikan presiden dan wakil presiden. “Selama ini MPR hanya menjadi penonton, bukan melantik. Badan Pengkajian MPR sedang mengkaji perlunya Tap MPR tentang pelantikan pesiden," ujar Rambe yang juga Pimpinan Badan Pengkajian MPR ini.

Penguatan lain, lanjut Rambe, adalah kewenangan MPR untuk menafsirkan UUD. Sebab, MPR memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan UUD. "Selain garis-garis besar haluan negara, MPR juga perlu juga memiliki kewenangan untuk menafsirkan UUD," katanya.

Narasumber lainnya yakni, pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago menegaskan bahwa optimalisasi dan penguatan lembaga MPR adalah dengan memperkuat ruh MPR sehingga MPR bisa menjadi lembaga negara yang lebih bermartabat dan dihormati.

"Ruh semangat MPR sebetulnya ada pada musyarawah dan mufakat. Seharusnya rekomendasi ke depan MPR jangan meninggalkan ruh musyawarah mufakat. Karena ruh musyawarah mufakat adalah ruhnya bangsa ini," ujarnya.***