PEKANBARU —Voice for Ecological Justice Festival atau yang dipopulerkan dengan akronim Vorest Fest merupakan satu rangkaian festival yang diinisiasi Walhi Riau. Pelaksanaannya akan dilangsungkan selama dua puluh hari, sebagai tanda Walhi Riau akan masuk pada usianya yang ke dua puluh tahun pada Februari 2023.

Festival ini akan berlangsung dari 21 November 2022 sampai dengan 10 Desember 2022. Pembukaannya pada Senin, 21 November 2022 ditandai dengan kegiatan diskusi bersempena Hari  Anak dan Hari Pohon Internasional. Keadilan iklim dan keadilan antargenerasi menjadi tema diskusi tersebut.

Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Riau menegaskan hadirnya Vorest Fest berangkat dari dua momentum penting, peringatan hari anak dan hari pohon internasional. Kedua hal ini butuh dirawat dan dijaga agar dapat tumbuh kokoh dan kuat. Bagi Walhi, peringatan dua momentum ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk menjaga bumi, termasuk bumi Melayu Riau.

Menurut Even, dua momentum ini menjadi pengingat posisi kita sebagai pewaris yang harus mewariskan dan mengajarkan kepada anak dan generasi muda untuk bersuara menuntut hak mereka atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. 

GoRiau

Rangkaian kegiatan Vorest Fest yang akan berlangsung selama 20 hari ke depan akan ditutup tepat pada peringatan Hari HAM. Hal ini menjadi penanda, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, termasuk keadilan iklim dan antargenerasi merupakan bagian dari hak asasi manusia, hak yang harus dituntut untuk dipenuhi negara.

Walhi Riau mengharapkan pasca penutupan kegiatan pada 10 Desember yang bertepatan dengan hari HAM mampu melahirkan dorongan kepada kelompok muda agar lebih berani menyuarakan suara tuntutan keadilan antargenerasi. Suara tuntutan ini tentu menyesuaikan dengan karakteristik kelompok muda, bersuara mendorong perubahan dengan riang gembira dalam pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia yang nyata dan berani.

Pelaksanaan Vorest Fest akan diwarnai dengan berbagai rangkaian kegiatan, seperti tematik forum diskusi, workshop, mural, panggung seni, parade, hingga promosi pangan dan produk lokal. Selain itu, Vorest Fest akan disela rapat tahunan organisasi, Konsultasi Daerah Lingkungan Hidup (KDLH), sebuah rapat evaluasi tahunan Walhi Riau.

Seruan Keadilan Antargenerasi Membuka Vorest Fest

Hari pertama Vorest Fest diawali dengan diskusi tematik yang bertajuk “Intergenerational Justice Now!” bersama Franky dan Devo, perwakilan anak muda dari Jurusan Hubungan Internasional Universitas Riau. Diskusi juga dipandu oleh anak muda dari SMAN 5 Pekanbaru, Salma Kania Zahidah.

Menurut Franky, krisis iklim mulai dirasakan sebagian besar wilayah di Indonesia. Dampaknya merugikan manusia secara materil, membuka kesenjangan dan ketidaksetaraan serta memperbesar kemungkinan terjadinya konflik sosial karena ketimpangan keadilan antargenerasi.

“Saat kita merusak lingkungan, bumi juga mengeluarkan antibodi untuk membunuh virus dalam bentuk bencana alam, banjir, kebakaran hutan dan kekeringan. Namun sebaliknya jika kita merawatnya, bumi akan memberikan ruang hidup yang baik dan sehat. Baik atau buruknya tergantung yang kita berikan,” kata Franky.

Menurut dia, isu keadilan iklim menjadi urgensi yang harus diperjuangkan antar generasi, karena anak muda merupakan kelompok yang paling terdampak di kemudian hari apabila perbaikan iklim tidak segera dilaksanakan.

Kemudian Devo menambahkan bhwa hadirnya krisis iklim akan mengancam ekosistem bumi, jika anak muda saat ini tidak melakukan pergerakan untuk perubahan bagi bumi atau melakukan hal-hal kecil untuk bumi.

“Anak muda harus sadar bahwasanya mereka yang paling terdampak di masa depan. Maka anak muda harus lebih berani memberi tekanan kepada pemangku kekuasaan dengan gerakan kolektif, karena generasi muda memiliki kewajiban untuk memberi perlindungan dan memiliki akses untuk menjaga sumber daya alam di masa depan,” ujar Devo.

Dari pemaparan tersebut, peserta merespon positif dengan memberikan tanggapan dan pertanyaan seputar materi. Jeffry Sianturi, Koordinator Senarai menyampaikan di Riau eksploitasi perkebunan skala besar menghilangkan nilai lokal dan penyumbang emisi karbon dari aktifitas pembukaan lahan dengan cara membakar. Ini bisa dilihat dari kasus korupsi PT Duta Palma dengan tersangka Surya Darmadi yang memiliki lahan 37.000 hektare dalam kawasan hutan adat dan merugikan negara akibat pembukaan lahan sebesar 86 triliun.

“Ini contoh nyata bagaimana perusakan alam di Riau dan dari aktifitas ini akan mengancam kita, keadilan iklim perlu kita suarakan,” ucap Jefri Sianturi.

Pendapat lain juga disampaikan Hidayat, perwakilan Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan (HMTL), Universitas Riau. Menurutnya ancaman krisis iklim juga terjadi di perkotaan seperti sampah, dampaknya juga menyumbang emisi dari gas yang mengendap melalui tumpukan sampah yang tidak terpilah. “Dengan akses dan informasi yang lengkap, anak muda bisa menyuarakan isu ini lebih merata dan sampai ke pemangku kepentingan,” saut Hidayat.

Even Sembiring merespon tanggapan kedua peserta diskusi. Menurut dia kesenjangan akan muncul karena tidak meratanya kesejahteraan ekonomi karena dirampas oleh kepentingan korporasi yang merusak ruang hidup masyarakat.

“Dalam konteks perubahan iklim, aktivitas korporasi menyebabkan panas bumi meningkat, permukaan air laut naik, dan tenggelamnya pulau. Selain itu korporasi menghasilkan emisi dari aktivitas tambang, perkebunan, dan bubur kertas. Mereka tidak peduli tentang kearifan lokal. Harus diingat berapa banyak mereka melepasan emisi karbon ke udara. Dan dari semua itu, anak mudalah yang paling terdampak akibat eksploitasi skala besar ini,” ujar Even Sembiring.

Di akhir diskusi, Salma menyampaikan perlunya kerja kolektif tiap jaringan anak muda dalam menyebarluaskan isu krisis iklim dan keadilan antar generasi. “Kuncinya ada pada kita, anak muda. Mulai kritis pada isu krisis iklim dan mulai menyuarakan kebijakan yang berpihak pada ruang hidup kita. Banyak hal dilakukan walaupun kecil akan mendorong perubahan yang berpihak pada keadilan iklim dan masa depan anak muda,” tutup Salma Kania Zahidah. ***