JAKARTA - Ibarat berkendara dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba ada kendaraan yang berbalik arah di tikungan. Begitulah, sikap Nahdlatul Ulama (NU) dalam perjalanan berbangsa dan bernegara dalam dua bulan terakhir yakni mengejutkan, meski kecintaan pada Tanah Air dari organisasi kaum sarungan itu tidak perlu diragukan lagi.

Ormas Islam terbesar di Indonesia (bahkan, mungkin di dunia) itu selama beberapa tahun terakhir justru dikenal “sangat politis” karena keterlibatan dari sejumlah pegiat/aktivisnya dalam "politik praktis" (pilkada) dan kuatnya pengaruh dari parpol yang kelahirannya dibidani sejumlah tokoh NU yakni PKB, namun kini berbalik arah menjadi sangat kritis.

Ya, dalam dua bulan terakhir ada dinamika menarik di tubuh NU. Dalam pernyataan sikap pada 20 September 2020, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj meminta KPU, pemerintah, dan DPR RI untuk menunda penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020 demi menjaga kesehatan rakyat.

"Meminta kepada Komisi Pemilihan Umum, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk menunda pelaksanaan tahapan Pilkada Serentak 2020 hingga tahap darurat kesehatan terlewati. Meskipun dengan protokol kesehatan yang diperketat, sulit terhindar dari konsentrasi orang dalam jumlah banyak," katanya.

Argumentasinya, NU berpendapat bahwa melindungi kelangsungan hidup (hifdz al-nafs) dengan protokol kesehatan sama pentingnya dengan menjaga kelangsungan ekonomi (hifdz al-mal) masyarakat. Namun, penularan Covid-19 telah mencapai tingkat darurat, sehingga prioritas utama kebijakan negara selayaknya diorientasikan untuk kesehatan.

Selain itu, NU juga mengingatkan kembali Rekomendasi Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2012 di Kempek Cirebon tentang perlunya meninjau ulang pelaksanaan pilkada yang banyak menimbulkan mudarat berupa politik uang dan politik biaya tinggi. Permintaan menunda pilkada demi kesehatan itu pun 'diamini' ormas Islam yang juga besar yakni Muhammadiyah.

Tidak lama berselang, sikap NU yang lebih kritis pun muncul. Ketua Umum PBNU yang juga Ketua Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) KH Said Aqil Siroj itu dalam keterangan pers di kantor PBNU, Jakarta Pusat (9/10/2020), menyatakan UU Cipta Kerja memberi peluang komersialisasi pendidikan. "Sektor pendidikan semestinya tidak boleh dikelola dengan motif komersial murni, karena termasuk hak dasar yang harus disediakan negara," katanya.

Ia menyebut Pasal 65 UU Cipta Kerja yang memasukkan pendidikan ke dalam bidang yang terbuka terhadap perizinan usaha. Hal itu dapat menjerumuskan Indonesia dalam kapitalisme pendidikan. Dengan begitu, nantinya pendidikan terbaik hanya dapat dinikmati segelintir orang yang memiliki dana cukup. Kalangan ekonomi lemah hanya akan menjadi penonton.

Catatan lain, NU juga menyoroti kelonggaran sertifikasi halal dari aspek syariah sebagai dampak dari pemberlakuan UU Cipta Kerja. “Negara mengokohkan paradigma bias industri dalam proses sertifikasi halal,” katanya. Ia mencontohkan UU Cipta Kerja mengabaikan syarat auditor halal harus sarjana syariah. Auditor halal bisa berasal dari sarjana nonsyariah, sehingga kekuatan sertifikasi halal secara keagamaan menjadi berkurang.

"Semangat UU Cipta Kerja adalah sentralisasi peraturan, termasuk masalah sertifikasi halal. Pasal 48 UU Ciptaker mengubah beberapa ketentuan UU 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Pasal tersebut, mengokohkan pemusatan dan monopoli fatwa halal kepada satu lembaga. Sentralisasi dan monopoli fatwa di tengah antusiasme industri syariah yang sedang tumbuh, dapat menimbulkan kelebihan beban yang mengganggu keberhasilan program sertifikasi," katanya.