SELATPANJANG - Kebijakan presiden terhadap moratorium gambut, sejumlah masyarakat di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau kecewa karena ingin melakukan pinjaman ke bank dengan melakukan agunan sertifikatnya tidak berlaku.

Sebagaimana diketahui dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, Presiden Jokowi memerintahkan jajarannya untuk menghentikan pemberian izin baru di hutan alam primer dan lahan gambut.

Penghentian bersifat sementara atau moratorium itu meliputi penghentian penerbitan hak-hak atas tanah baik berbentuk hak guna usaha (HGU) dan hak pakai pada areal penggunaan lain berdasarkan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB).

Salah seorang warga Jalan Sumber Sari, Kelurahan Selatpanjang Timur, Kecamatan Tebingtinggi, Kepulauan Meranti, Vica Harmainita mengakui jika dirinya tidak bisa melakukan agunan sertifikat tanah miliknya ke bank karena tanah dan rumah miliknya berada di kawasan gambut.

"Disini saya ingin mengetahui tentang peraturan yang dibuat siapa. Bahwa surat tanah saya yang mau diagunkan ke bank tidak bisa dilakukan sebab terkena lahan gambut, padahal 100 persen lahan tanah saya merupakan tanah liat," kata Vica.

Dikatakan Vica, dengan adanya kebijakan tersebut, dirinya merasa dirugikan. Apalagi sertifikat yang mau diagunkan tersebut menjadi salah satu harapan untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi yang dihadapinya.

"Saya sangat merasa dirugikan sekali karena sertifikat rumah dan tanah saya tidak bisa digunakan untuk diagunkan. Padahal serifikat inilah satu satu nya harapan saya dan keluarga untuk menyelesaikan masalah ekonomi yang kami hadapi," kata Vica.

Dia juga sangat menyesalkan peraturan yang telah dibuat sangat tidak tepat dan terkesan merugikan masyarakat.

"Disini saya sangat menyesalkan peraturan yang dibikin tidaklah tepat. Tidak ada disurvei, alih-alih tanah saya terkena lahan gambut. Bagi saya ini sudah pemalsuan data dan bisa disebut kriminal dan tentu saja bisa dipidanakan. Bagi yang merasa bertanggung jawab dengan masalah lahan gambut ini tolong lah dengan tidak mengurangi rasa hormat saya lepaskan tanah saya dari lahan gambut," ujarnya.

Sementara itu Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kepulauan Meranti, Budi Satria yang dikonfirmasi mengenai hal ini mengatakan untuk antisipasi agar sertifikat tanah yang sudah ada diatas lahan gambut tersebut agar dapat dipergunakan sebagai agunan ataupun untuk peruntukan lainnya, maka yang bersangkutan harus memohonkan pelepasannya ke Kementrian Kehutanan melalui Dirjen Planalogi.

"Yang bersangkutan harus ngurus langsung ke Dirjen Planalogi. Sifatnya kita minta klarifikasi terhadap lahan yang masuk kedalam PIPPIB ini sehingga layanan sertifikat berlaku seperti biasa, karena PIPPIB ini semacam warning dalam rangka kelestarian gambut. Agar kita ingin nyaman dengan kondisi ini ya kita harus berjuang," kata Budi.

Terkait adanya lahan non gambut yang masuk kedalam peta indikatif itu, pihak BPN tidak mengetahui hal tersebut.

"Jika ada lahan bukan gambut masuk kedalam PIPPIB itu mereka orang Kementerian yang punya cara, kita tidak tahu dan tidak dilibatkan, itu murni terbit langsung dari kementrian. Jika sudah ada Inpres kita tinggal patuh saja lagi," kata Budi.

Terkait hal ini pula sangat banyak masyarakat yang mendatangi kantor BPN untuk mengadukan hal ini, namun BPN tidak mempunyai kewenangan lebih.

"Banyak sudah masyarakat yang mengeluhkan hal ini. Namun BPN tidak bisa mengurus, karena didalam persyaratan itu setiap bidang diminta bukti suratnya terutama dibawah tahun 2011. Jadi tidak mungkin kami kumpulkan semua, makanya harus diurus masing-masing jadinya," ujar Budi.

Dikatakan ini sudah pula disampaikan ke Bupati Kepulauan Meranti, dan terhadap persoalan tersebut juga sudah ditanggapi dengan dilakukannya koordinasi bersama pihak kementerian.

"Namun demikian itu sudah kita laporkan ke bupati dan Bappeda. Itu langsung ditanggapi dan itu geraknya cepat sekali, begitu dilaporkan langsung direspon dan dilakukan koordinasi ke kementrian," kata dia.

Diungkapkan, terkait hal ini pula Bupati baru memfokuskan terhadap lahan yang termasuk kedalam skala prioritas.

"Kalau kita bicara skala prioritas, ceritanya jadi berbeda dan mana yang didahulukan, kalau diajukan semua kementerian bisa keberatan. Namun moratorium ini bisa berubah setiap 6 bulan sekali, jadi bisa diajukan bertahap," ungkap Budi.

Terakhir dikatakan Budi, bagi masyarakat yang ingin memperjuangkan dan memastikan lahannya tidak masuk dalam kawasan PIPPIB, maka harus memperhatikan persyaratan yang telah ditentukan.

"Ada persyaratan tertentu jika ingin ngurus, diantaranya lahan tersebut sudah dimiliki lama minimal dibawah tahun 2011 dan peruntukannya tidak merusak gambut. Jika misalnya lahan tidak termasuk gambut tinggal pembuktian saja dan ada peta dari BPN yang bisa dijadikan floating, jadi tidak bisa lapor-lapor gitu saja. Memang kita banyak terima laporan, namun bagaimana kita harus berjuang mengembalikan seperti semula sehingga tidak jadi kendala dan mengganggu stabilitas dinamika kehidupan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi," pungkasnya.***