DEKADENSI moral tengah dan telah sangat merebak di Negara dan Negeri ini, sejumlah peristiwa yang membuat kita prihatin terhadap kondisi bangsa ini. Nilai dan norma sosial tergerus dan terdegradasi, krisis multidimensi merajalela ditengah masyarakat. Penyakit sosial semakin menjadi-jadi dan berkembang seakan tak bisa dikendalikan. Pelecehan seksual dan tindak kekerasan yang dilakukan pada anak-anak maupun wanita, seperti hal yang biasa saja. Ada anak kandung yang tega menganiaya bahkan menghabisi nyawa orang tuanya. Penggunaan obat-obatan terlarang (psikotropika/narkoba), semakin hari semakin meluas. Bukan hanya melanda di masyarakat perkotaan, namun kini juga merambah ke wilayah perdesaan dan perkampungan yang jauh dari hingar bingar kehidupan sebagian orang kota yang berpaham bebas dan individualisme.

Keprihatinan kita akan semakin besar, ketika banyak elit politik dan pejabat di level negara hingga daerah tersandung masalah hukum, sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan (kewenangan) dan penghamburan uang rakyat. Pada saat bersamaan kemiskinan dan pengangguran masih tinggi. Padahal semua itu merupakan perilaku orang kafir dan jahiliyah, yaitu mereka yang memegang agamanya dengan senda gurau dan menjadikan agama sebagai permainan duniawi. Inilah jahiliyah modern yang bahkan dengan kadar kualitas dan kuantitas yang jauh melebihi jahiliyah pra-Islam.

Krisis Multidimensi dan Dekandensi Moral yang saat ini terjadi sebenarnya telah pernah penulis baca dalam buku Muhammad Quthb berjudul “Jahiliyatul Qarnil ‘Isyrin (Jahiliyah Abad 20)” di tahun 1980-an. Dalam buku ini, Muhammad Quthb menjelaskan secara rinci bagaimana perilaku jahiliyah yang masih membudaya di zaman modern ini. Menurutnya, Jahiliyah modern merupakan miniatur dari segala bentuk kejahiliyahan masa silam dengan tambahan asesoris di sana-sini sesuai dengan perkembangan zaman. Sikap jahiliyah modern tidak timbul secara mendadak melainkan telah melalui kurun waktu panjang.

Ketika kita membaca dan mendengar kata “jahiliyah”, bisa jadi gambaran yang sering muncul di benak kita adalah era kebodohan yang jauh dari nilai peradaban, tidak bermoral dan penuh dengan praktik paganisme pada zaman sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW. Anggapan seperti ini memang tidak sepenuhnya salah, namun kurang tepat jika definisi jahiliyah hanya dibatasi pada masa pra-Islam yang terjadi di Jazirah Arab saja, tanpa peduli mengapa mereka dijuluki jahiliyah. 

Sejatinya ada faktor yang lebih krusial mengapa julukan jahiliyah itu disematkan kepada bangsa Arab pra-Islam. Secara umum, sebutan tersebut muncul karena prilaku atau cara pandang yang menyimpang dari  Islam. Meskipun hakikatnya pintar dalam urusan dunia, namun ketika prilaku atau cara pandangnya menyimpang dari Islam, maka esensi jahiliyah itu ada dalam dirinya. Bahkan terhadap umat Islam sekalipun, ketika perilakunya menyimpang dari Islam maka sejatinya dia sedang berperilaku jahiliyah. Jahiliyah atau kebodohan pada zaman pra-Islam maupun era kekinian ialah ketidaktahuan tentang kepada siapa dan bagaimana kita beribadah, ketidaktahuan terhadap apa hakikat sebenarnya manusia hidup di atas dunia (beribadah kepada Allah dan sebagai khalifatullah di muka bumi).

Dengan demikian makna jahiliyah tidak hanya untuk menyebut suatu masa, era atau fase tertentu saja. Namun sebutan jahiliyah merupakan sifat yang dapat melekat pada setiap individu atau kelompok manusia tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Setiap perkara yang menyimpang dari petunjuk Nabi SAW maka dia disebut perkara jahiliyah. (Fathul Majid, hal: 261). Abul A’la Al-Maududi berkata, “Jahiliyah adalah setiap cara pandang yang tidak sesuai dengan cara pandang Islam, yang dari cara pandang yang tidak islami tersebut lahirlah perbuatan-perbuatan jahiliah.” (Abu A’la Al-Maududui, Islam dan Jahiliyah, hal. 22-23).

Dengan settingan dan aktor yang berbeda, upaya pemisahan Islam dari aturan hidup masyarakat sebagaimana yang kita lihat dan rasakan saat ini, terjadi dalam berbagai dimensi kehidupan politik, hukum, pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya. Bagi mereka, agama dipandang hanya sebagai urusan privat semata, tidak perlu dibawa-bawa untuk mengatur kebijakan publik. Kehidupan sosial biarlah diatur hukum positif berdasarkan kemanusiaan dan toleransi dari akal budi manusia. Tidak perlu ada campur tangan Allah SWT didalamnya. Efeknya, ajaran Islam hanya dipakai jika sesuai dengan selera akal mereka. Agama hanya sebatas kemasan dan hiasan untuk pencitraan diri, kamuflase status status sosial dan untuk kepentingan politik sesaat. 

Jabatan sebagai kepercayaan dan amanah disalahgunakan untuk memperkaya diri dan menumpuk kekayaan serta mempertahankan kekuasaan. Segala macam cara dan apapun dilakukan untuk mendapatkan jabatan tersebut. Kesenangan duniawi, harta melimpah, rumah tempat tinggal megah, kendaraan mewah masih tak cukup dan terus dikejar, bagai meminum air laut yang semakin di minum dahaga tak pernah terpuaskan. Kondisi seperti ini melambangkan karakter bangsa jahiliyah zaman dahulu. Padahal kemewahan dan harta yang berlimpah tidaklah dapat dibawa mati, apatah lagi mendapatkannya dengan cara-cara yang tidak diridhoi Allah SWT.

Islam tidak mengajarkan perilaku (pola) hidup konsumtif atau gaya hidup yang berlebih-lebihan. Imam Ali R.A berkata, “Aku tidak melihat kenikmatan yang berlimpah kecuali disampingnya pasti ada hak yang diabaikan.” (Nahj al Balaghah, hikmah Imam ‘Ali R.A). Dalam Al-Qur’anul Karim, Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengeluarkannya sehingga kamu menjadi tercela dan menyesal.” (Qs. Al-Isra:29).

Dalam konteks Riau kekinian, kesederhanaan dan pola hidup hemat sudah patut dan menjadi suatu keniscayaan. Riau tidaklah lagi sebagai negeri dengan yang kaya. Kekayaan sumber daya alam Riau, khususnya minyak dan gas yang menjadi kebanggaan, semakin menurun produksinya bahkan memasuki masa senja untuk selanjutnya habis. Bilang pembagi kue pembangunan Riau semakin besar, walau secara nominal dana pembangunan bertambah setiap tahun. Bukankah beban lonjakan penduduk, pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, serta fasilitas umum dan sosial lainnya (pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan) juga semakin besar.

Tersebab itulah, para petinggi dan penyelenggara pemerintahan wajib menyadari hal tersebut. Perumusan dan penyusunan anggara pembangunan, mestilah dalam mindset kesederhanaan dan hemat (efisien dan efektif). Paradigma membuat program untuk menghabiskan anggaran yang ada, di ubah dengan paradigma optimalisasi anggaran dengan perspektif jangka panjang. Perencanaan pembangunan dibuat secara visioner, 25 bahkan 50 tahun ke depan. 

Demikian juga pola hidup bermewah-mewahan (hedonisme dan konsumerisme) yang selama ini dipertontonkan oleh pejabat dan pegawai pemerintahan sudah saatnya dihilangkan. Penyelenggara birokrasi adalah pelayan rakyat dan panutan masyarakat. Sepatutnya lebih bijak memberikan contoh yang baik. Dalam hal ini pola hidup sederhana tidak hanya berlaku pada saat tidak ada, akan tetapi dan seharusnya kita bersikap sederhana dalam keadaan senang maupun susah.

Spirit Hijrah Rasulullah SAW harus bisa mendorong kita untuk segera meninggalkan pola pikir dan prilaku jahiliyah, menuju tatanan kehidupan yang diridhoi Allah SWT, dengan cara meningkatkan kualitas dan kuantitas iman dan amal shaleh serta ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Mari berazam untuk meninggalkan dan tidak kembali pada habitat tradisi jahiliyah, dari karakter asli manusia yang rakus, sombong, takjub melihat diri, tak pernah sabar, tak pernah menghargai waktu untuk berbuat kebajikan, tak pernah puas dengan apa yang diperoleh, secara sadar dan kasar mengambil hak orang lain, dzalim dan tak pernah jujur atas diri sendiri. Jangankan tak dilihat oleh sesama manusia, bahkan secara terang-terangan berkoalisi secara kolektif berbuat kemunkaran. 

Momentum pergantian tahun HIjriyah, pada hakikatnya adalah ‘ruang jeda’ kita untuk bertafakkur, evaluasi dan instrospeksi. Melakukan kilas balik atas amal ibadah yang telah kita lakukan di tahun-tahun sebelumnya untuk selanjutnya kita mampu mengambil hikmah dan makna serta Hijrah melakukan tindakan pembaharuan. Hari raya 1 Muharram sejatinya merupakan Waktu yang Patut dan Tepat untuk Mensyukuri semua karunia yang telah diberikan Penguasa Alam Semesta. Menjadi momentum untuk tapak dan azam menuju tahapan yang lebih baik dan lebih maju. Lebih jauh lagi, Hijrah adalah solusi bagi berbagai persoalan yang sedang melilit negeri dan umat kita saat ini. Karena, Hijrah adalah sistem nilai yang datang dari Allah, maka hijrah tersebut akan bernilai di mata Allah dan menghasilkan berbagai manfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat.

Perlu untuk selalu kita ingat, sejarah membuktikan dan memberikan pembelajaran pada kita, kehancuran suatu bangsa diawali dengan hancurnya moralitas masyarakatnya dan hilangya karakter bangsa. Bangsa yang bermartabat dan maju, tentunya dapat dilihat dari adat, sikap, dan perilaku masyarakatnya. Mengutip kalimat bijak berikut : "When wealth is lost,  nothing is lost;  when health is lost,  something is lost; (but) when character is lost everything is lost". "Ketika kesejahteraan (kekayaan) hilang, tidak ada yang hilang; ketika kesehatan hilang, ada sesuatu yang hilang; (namun) ketika karakter hilang, segalanya telah hilang’. Benar adanya, jika karakter yang seharusnya melekat pada jati diri masyarakat sudah hilang, tak tahu lagi akan jadi apa bangsa kita ini. “Selamat Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1442 Hijriyah”.

Tentang Penulis: Muhammad Herwan, saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Sekjen Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR), Wakil Sekretaris Dewan Pendidikan Provinsi Riau dan juga Perumus Naskah Awal Visi Riau 2020. ***