JAKARTA - Jelang empat tahun sejak digulirkannya program 35 ribu megawatt elektrifikasi nasional, PLN baru mengoperasikan 1.362 MW hingga awal Februari 2018. Masih ada 12.693 MW belum konstruksi namun sudah berkontrak. Sementara sebesar 3.564 MW dalam tahap pengadaan dan 1.245 MW dalam tahap perencanaan. Sedangkan 17.116 MW lainnya sedang dalam konstruksi hingga tahun 2019.

Menyikapi hal ini, anggota Fraksi Energi DPR RI dari Fraksi NasDem, Kurtubi, mengevaluasi kurangnya diversifikasi pembangkit energi bersih (EBT) dalam program elektrifikasi nasional tersebut. Pencapaian elektrifikasi nasional 35 ribu MW yang masih rendah hingga jelang akhir masa pemerintahan menjadi catatan khusus bagi Komite Percepatan Proyek Infrastruktur (KPPIP) yang diberi mandat oleh pemerintah untuk mengakselerasinya.

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027 disebutkan, proyeksi penambahan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) ditarget sebesar 14.912 MW. Jauh berkurang dibanding RUPTL 2017-2026 sebesar 21.560 MW. Bahkan, pada 2018, penambahan pembangkit listrik EBT hanya diproyeksikan sebesar 512 MW.

''Rencana Pembangunan 35 ribu MW perlu direvisi dengan memperhatikan UU Ratifikasi atas Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim dengan memperbanyak dan membangun pembangkit berbasis energi bersih EBT,'' jelas Kurtubi, Selasa (6/3/2018).

Dia menegaskan bahwa variasi proyek pembangkit listrik yang ada saat ini masih terlalu berfokus pada energi fosil. Padahal menurutnya jenis pembangkit ini akan mengalami kendala akibat kelangkaan sumber daya dan sifat tidak terbarukannya. Untuk itu dia mendorong pemerintah melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya untuk fokus mendukung pembangunan pembangunan sumber energi baru terbarukan, jangan hanya business as usual.

''Banyak jenis EBT yang telah dikembangkan di dunia. Nuklir, panas bumi, tenaga surya, bayu, hidro, biomas, biogas, hidro laut contohnya. Banyak dan bisa itu diaplikasikan di Indonesia sesuai karakter daerah pengembangannya,'' papar anggota DPR dari NTB ini.

Pemerintah sendiri memiliki lembaga seperti KPPIP dalam melakukan proses akselerasi percepatan pembangunan pembangkit listrik 35.000MW. Lembaga inilah yang diharapkan bisa mempermudah proses bagi pengembang untuk memperoleh jaminan pembiayaan di awal hingga upaya mengatasi permasalahan pra konstruksi. Selain itu, lembaga ini diharapkan mampu mendorong investor dan pengembang yang lebih variatif memanfaatkan EBT.

Peraturan Presiden Nomor 122/2016 sebagai revisi dari Perpres 75/2014 memberi mandat besar bagi KPPIP untuk melakukan percepatan realisasi 35 ribu MW dengan mengoptimalkan eksplorasi dan eksploitasi EBT. Walaupun dalam pasal 6 Perpres 122/2016 hanya sumur eksplorasi dan eksploitasi tenaga panas bumi yang ditegaskan secara jelas. (rls)