SEJAK kecil hingga remaja, Margareta Wiyanda Handoyo tidak pernah memiliki teman beragama Islam. Namun, setelah kuliah dia justru berteman baik dengan seorang pemuda Muslim, yang kemudian menjadi suaminya.

Sebelum menikah, Margareta memutuskan mengikuti agama calon suaminya, dengan mengucapkan dua kalimat syahadat (bersyahadat).

Dikutip dari Republika.co.id, wanita yang kini berusia 20 tahun ini lahir dan dibesarkan di tengah keluarga Nasarani. Orang tuanya sangat fanatik dan tidak membiarkan anak-anaknya mempelajari agama lain. Aga, begitu sapaannya, diwanti-wanti untuk tidak pernah berpindah agama.

Tidak pernah tebersit bagi wanita asal Pekalongan ini untuk menganut Islam. Namun, hidayah dari Allah SWT itu datang kepadanya melalui seorang pria yang baru dikenalnya. Seperti dirinya, pria ini berdarah Tionghoa. 

Aga yang sejak kecil bersekolah di sekolah swasta hampir tidak pernah berteman dengan Muslim. Jika ada, hanya kenal, begitu juga dengan pria yang dipertemukan temannya pada 2016 itu. 

Seperti biasa, saat berteman dengan pria bernama Jati Pratama ini, Aga tak pernah bertanya tentang agama. Dia berpikir, karena sama-sama etnis Tionghoa, biasanya agama dan adatnya sama. Saat itu, ia pun bertemu di sebuah acara keluarga Tionghoa.

Setelah berkenalan dua bulan, pria tersebut ingin bertemu kedua orang tuanya karena bermaksud serius mengajak Aga menikah. Hingga saat itu, keduanya belum membahas agama satu sama lain. 

''Saya tidak curiga karena kenal orang tua Mas Jati. Papanya menggunakan nama Mandarin,'' ujar dia sebagaimana dikutip dari arsip Harian Republika.

Baru setelah empat bulan kemudian Jati menjelaskan bahwa dia seorang Muslim sejak lahir. Aga terkejut, tapi dia tidak marah ataupun memutuskan hubungan.    

Justru, saat itu, dia malah memiliki rasa ingin tahu tentang agama Islam. Aga ingin mengetahui calon suami dan keluarganya yang Tionghoa bisa menjadi Muslim yang taat, berbeda dengan keluarga lain yang biasanya menganut agama non-Islam. 

Meski menjalin hubungan, mereka jarang bertemu karena Aga berkuliah di Jakarta dan calon suaminya bekerja di Pekalongan. Meski calon suaminya ingin menikahi dia, namun tidak memaksanya untuk memeluk Islam.

Tetapi, calon suaminya juga tidak mau jika harus berpindah agama. Hingga Aga lulus kuliah, calon suaminya sering bertemu kedua orang tua Aga.

''Saya tidak tahu apa yang membuat ibu saya yang tadinya fanatik terhadap agamanya sendiri mau menerima suami saya saat ini,'' ujar dia.    

Suatu hari, ibunya membahas soal pernikahan dan soal Islam. Ibunya tidak melarang ataupun mendukung.

Hanya saja, sang ibu memberikan penilaian bahwa calon suaminya adalah sosok yang baik dan taat agama. Jika anaknya memang mau menikah, dia tidak mempermasalahkan asalkan dia menjadi istri yang taat dengan suami dan jika memang harus pindah agama harus menjalani agamanya dengan sebaik-baiknya.

Menikah mungkin adalah jalan Aga untuk memeluk Islam. Tetapi, dia tidak ingin asal sekadar memeluk Islam karena pernikahan.

Pada 2017-2018 Aga kemudian pulang ke Pekalongan. Aga mengutarakan niatnya untuk memeluk Islam kepada calon suaminya. 

Saat itu, selain calon suami, calon ibu mertuanya juga mengajarkan dia tentang Islam. Dia pun menghadiahkan mukena untuk Aga belajar shalat.

Awalnya, Aga diajarkan tata cara shalat dan bacaan saja. Sedangkan, untuk kajian Islam, sejak kecil, calon suaminya ini memang sering memanggil ustaz ke rumah sehingga sering mengadakan kajian bulanan. 

Setelah memahami sedikit, Aga memberanikan diri bersyahadat. Dia datang ke sebuah gedung dan dihadiri kiai di Pekalongan. Secara resmi, Aga bersyahadat beberapa bulan sebelum Ramadhan pada 2018.

Setelah bersyahadat, Aga kemudian mengkaji beberapa ajaran Islam. Salah satunya adalah tentang kajian pranikah.

''Karena sudah berniat memeluk Islam, sejak bersyahadat, hal-hal yang haram telah saya tinggalkan, termasuk makanan dan minuman yang haram,'' ujar dia.

Begitu juga dengan ritual adat, Aga tetap hadir untuk menghormati kedua orang tua dan keluarga besarnya, tetapi dia tidak lagi mengikuti ritual adat dan ibadah mereka. 

Selain makanan dan minuman, ibadah yang baru dirasakannya adalah berpuasa. Ibunya yang tidak lagi fanatik justru menyiapkan sahur untuk anaknya. Hanya saja, karena di rumah tidak ada yang berpuasa, ada rasa sungkan sehingga ketika berbuka puasa dia berbuka di rumah calon suaminya.

''Pertama kali berpuasa terasa sekali, lemes tetapi calon suami dan ibu mertua menyemangati saya, dan bersyukur bisa berpuasa selama Ramadhan,'' tutur dia. 

Aga bersyukur, setelah memeluk Islam mendapat dukungan dari keluarga. Namun, justru tantangan itu datang dari luar. 

Kedua orang tuanya harus menerima cemoohan yang tidak mengenakkan dari luar tentang dirinya. Aga merasa sedih kedua orang tuanya mendapat perlakuan seperti itu.  

Bersyukurnya, mental kedua orang tuanya sangat kuat. Ibunya, terutama, melemparkan cemoohan orang dengan alasan-alasan yang bijak sehingga mereka terdiam dan tak lagi mencemooh mereka. 

Berbeda dengan sikap teman-temannya. Meski kini menjadi Muslim, tak ada sikap yang berubah kepadanya. Mereka tetap berhubungan baik hingga kini.

Pada 2019 Aga kemudian menikah dan memiliki anak kembar perempuan. Setelah melahirkan, Aga kemudian memutuskan memakai jilbab. 

Beberapa orang menyindir dia yang belum mengenakan jilbab. Karena memang tidak tahu bahwa jilbab itu wajib untuk wanita Muslim. 

Baru setelah mempelajarinya dan membahas dengan suami, pada 2020, Aga mulai berjilbab. Suaminya sangat mendukung keputusannya begitu juga ibu mertua yang sangat senang menantunya kini berjilbab.  

Kini, Aga perlu lebih banyak waktu untuk mempelajari Islam. Masih banyak ajaran-ajaran Islam yang masih menjadi pertanyaan untuknya. Terutama, tentang diperbolehkannya poligami.

Namun, karena saat ini sedang pandemi, kajian tatap muka harus terhenti. Sehingga Aga hanya mencari informasi dari kajian daring saja.

Selain itu, dari sisi ibadah, setelah pandemi berakhir dan Allah SWT mengizinkan, dia juga ingin melaksanakan umrah atau haji.***