BANYAK orang pintar, namun sedikit yang memanfaatkan ilmunya untuk kepentingan masyarakat luas, dan malah miskin dalam berfikir waras, hingga tanpa sadar menghancurkan rumah kehiduan.

Seorang pengamat lingkungan dari Universitas Riau (UR), Tengku Ariful Amri menyatakan, sepenggal kalimat itu adalah rangkuman dari rentetan bencana yang terjadi selama ini, khususnya di Provinsi Riau dalam hal kebakaran lahan dan kabut asap.Menurut dia, saat ini banyak orang pintar namun justru mengalami kemiskinan struktural. Kemiskinan ini adalah yang terparah melebihi gelandangan dan pengemis yang selama ini kerap dijaring oleh satuan polisi pamong praja yang risih.Kemiskinan struktural menurut dia adalah akibat dari super struktur yang membuat sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya, namun tanpa memikirkan dampak masa depan, dalam artian mengalami kegagalan revolusi (perubahan).Kemiskinan struktural, agaknya lebih parah dari kemiskinan membudaya, yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya.Namun para lakon budaya kemiskinan ini, tidak sampai merusak rumah kehidupan kelompok dan hanya memberi dampak buruk pada diri sendiri.Sementara pada kasus kemiskinan struktural, Ariful Amri mencontohkan sebuah kebakaran lahan dan hutan di Riau yang hingga kini terus memberi dampak polusi kabut asap yang luas.Ritual KematianSeperti 'Niyalah', ritual selamatan kematian tentang keberangusan hutan Riau di tengah degradasi dahsyat. Keseimbangan keanekaragaman hayati kian terancam, kesehatan jutaan manusia 'terbelenggu' dalam mimpi buruk tentang keserakahan kelompok manusia tak bertanggung jawab. Tragedi bencana kabut asap dampak dari peristiwa kebakaran lahan di Provinsi Riau kembali terjadi.Beberapa pesawat tempur di Pangkalan Udara TNI Roesmin Nurjadin Pekanbaru turut dikerahkan untuk merekam keganasan kelompok manusia tak bertanggung jawab. Penyebab lebih 50 ribu jiwa menderita, dua diantaranya bahkan meninggal dunia.Alat utama yang juga masuk dalam sistem pertahanan negara ini merekam jejak-jejak kejahatan lingkungan misterius. Mereka yang telah membakar lebih 15 ribu hektare lahan semak belukar, hutan, dan bahkan akibatnya, kobaran api merambat hingga turut menghanguskan perkampungan di suatu kawasan pada Kabupaten Bengkalis.Lensa alutsista itu merekam pemandangan memilukan dari udara, sekitar 5.000 kaki di atas permukaan laut. Kepekatan asap bergumpal seperti awan panas Sinabung yang meletus pada akhir Januari 2014."Itu adalah bukti, bahwa sebenarnya kita sedang dilanda kemiskinan struktural, penyebab rumah kehidupan terberanguskan," kata Tengku Ariful Amri kepada Antara, Jumat (14/3).Udara BerbahayaSepuluh unit mesin Indeks Standart Pencemaran Udara (ISPU) yang terpasang di sejumlah wilayah di Provinsi Riau pada Kamis (13/3) menyatakan kualitas udara di daerah ini kategori berbahaya bagi kesehatan manusia.Data Satuan Tugas (Satgas) Penanggulangan Bencana Kabut Asap Riau yang diterima Antara menyatakan, alat ISPU milik PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) yang terpasang di sekitar Kecamatan Rumbai, Pekanbaru menyatakan tingkat kualitas udara di sekitar mencapai 310 polutan standar indeks (psi), sementara ISPU di kawasan Minas, Kabupaten Siak juga milik Chevron mendeteksi cemaran udara berada pada 388 psi.Kemudian ISPU milik Chevron yang terletak di Duri Camp dan Duri Field berada apada 500 psi, begitu juga di Kota Dumai juga menunjukkan angka 500 psi.Sementara itu alat ISPU milik pemerintah daerah yang berada di tengah Kota Pekanbaru menunjukan angka 345 psi, sementara di Siak Indrapura, mesin ISPU mengarah pada angka 500 psi.Begitu juga di wilayah Kandis, Perawang, Bangko dan sekitaran Panam, Pekanbaru, mesin ISPU milik Chevron dan pemda serentak menunjukkan angka 500 psi.Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau, Zainal Arifin, kepada pers mengatakan, tingkat pencemaran yang berada di atas 300 psi sudah kategori berbahaya bagi kesehatan manusia. "Sebaiknya masyarakat mengurangi aktivitas di luar rumah atau gedung," kata dia.MenderitaDinas Kesehatan Provinsi Riau mencatat sudah 55.422 jiwa warga di berbagai kabupaten/kota menderita penyakit yang disebabkan polusi kabut asap dampak dari peristiwa kebakaran lahan dan hutan sejak delapan pekan terakhir. "Dibandingkan hari sebelumnya (Rabu 12/3), terjadi peningkatan sekitar 5.831 jiwa," kata Kepala Dinas Kesehatan Riau, Zainal Arifin kepada pers di Pekanbaru.Data rekapitulasi Dinkes Riau yang disampaikan ke Satuan Tugas (Satgas) bencana Kabut Asap Riau menyebutkan, terbanyak adalah penderita infeksi saluran pernafasan atas (ispa) yakni 48.390 jiwa, dimana sekitar 11.798 penderita merupakan warga Pekanbaru.Kemudian sebanyak 8.033 jiwa penderita ispa merupakan warga Kabupaten Rokan Hilir, dan di Bengkalis ada 6.136 orang yang terkena penyakit ini.Sementara di Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hulu, Siak, Pelalawan, dan Indragiri Hulu, penderita ispa mencapai angka 2.000 hingga 3.839 orang.Paling sedikit di Kabupaten Indragiri Hilir, Meranti dan Kuantan Singingi dengan jumlah penderita ispa rata-rata kurang dari 2.000 jiwa.Rumah KehidupanPengamat lingkungan dari Universitas Riau, Tengku Ariful Amri menyatakan, peristiwa kebakaran yang melanda daerah ini secara terus menerus adalah bentuk penghancuran rumah kehidupan yang nyata.Ketika hutan sudah habis, kata dia, orang pun mulai masuk ke kawasan-kawasan terlarang yang dilindungi oleh undang-undang. Seperti hutan lindung nasional, cagar biosfer dan lainnya.Sebab itu, demikian Amri, pihaknya melihat penghancuran rumah kehidupan ini sudah menjadi sebuah kenyataan, karena semua pihak sudah mendapatkan atau merasakan dampak yang terjadi hingga saat ini.Selain itu, kata dia, perusakan rumah kehidupan ini juga akan berdampak pada kehidupan masa depan semua makhluk hidup, mulai dari manusia, hewan maupun tumbuhan.Buat manusia dengan akal dan fikirannya, demikian Amri, ia akan mampu mengantisipasinya walaupun kondisinya semakin sulit.Namun buat hewan dan tumbuhan, kata dia lagi, telah begitu nyata yakni berupa kepunahan dan berbagai spesies mulai hilang dari muka bumi ini. "Dengan kepunahan keanekaragaman hayati baik fauna maupun flora, ini akan menghancurkan kehidupan manusia secara abadi," katanya.Maka menurut dia, kebakaran lahan yang rutin terjadi setiap tahunnya ini, sama halnya dengan penghancuran rumah kehidupan baik itu manusia, flora maupun fauna.Secara fisik dan kemampuan, demikian Amri, manusia memang satu-satunya makhluk yang akan bertahan hidup lebih lama.Namun dengan percepatan punahnya keanekaragaman hayati, itu juga menurut dia akan mempercepat kelumpuhan hidup manusia itu sendiri. "Maka akan tinggal menunggu kehidupan itu menjadi kehancuran yang nyata dan abadi," kata dia.Sebaiknya, demikian Amri, semua pihak mulai dari pemerintah, masyarakat dan lainnya harus segera sadar akan bahaya penghancuran rumah kehidupan ini.Solusi Tepat      Solusi paling tepat untuk mengatasi kebakaran lahan dan hutan di Provinsi Riau agar tidak terulang setiap tahunnya adalah dengan memberantas kemiskinan struktural yang kini menjadi "wabah" kesengsaraan, serunut Tengku Ariful Amri."Penegakan hukum benar dapat menganisipasi terjadinya kebakaran lahan yang rata-rata sebenarnya adalah pembakaran. Namun hanya sesaat dan diyakini akan terulang lagi," kata Ariful.Menurut dia, yang paling penting adalah membenahi sumber daya manusia secara merata, terutama yakni upaya pemberantasan kemiskinan struktural."Kalau untuk jangka panjang ini yang harus dilakukan. Sementara penegakan hukum itu tidak akan efektif untuk mencegah terjadinya kebakaran lahan penyebab kabut asap secara permanen," katanya.Ariful mengatakan, kemiskinan struktural ini terjadi dengan diawali cara berfikir yang keliru.Menurut dia, selama ini pola fikir semua pihak khususnya pemerintah dan masyarakat tidak berorientasi pada esensi manusia sebagai makhluk sosial.Hari ini, demikian Ariful, telah terjadi pengangkangan terhadap masa depan manusia itu sendiri, karena saat ini kebanyakan pihak atau orang hanya berfikir pada sisi ekonomi belaka.Oleh sebab itu, kata dia, karena semua pihak masih fokus pada orientasi ekonomi, maka tidak lagi dilihat hal-hal yang jauh kedepan, khususnya tentang rumah kehidupan.Untuk diketahui, lanjut kata Ariful, bahwa pembangunan berkelanjutan itu hanya bisa dilakukan dengan diawali perencanaan yang matang.Sementara perencanaan yang baik, kata dia, hanya bisa dilakukan oleh orang yang mempunyai kemampuan berfikir dengan baik pula. "Nah, kalau kemampuan berfikir kita lemah dan hanya fokus pada perekonomian tanpa berkelanjutan, itulah yang menjadi pangkal kemiskinan struktural itu sendiri," katanya.Jadi, kata Amri lagi, kemampuan berfikir yang lemah, menyebabkan perencanaan ikut lemah dan ditambah lagi penganggaran yang lemah, maka kehancuran rumah kehiduan itu jelas di depan mata."Semua pihak harus segera menyadari hal ini, dan pemerintah segera bertindak untuk memberantas kemiskinan struktural yang terus 'menggerogot' berbagai kalangan. Jangan sampai rumah masa depan kita terberanguskan hanya karena miskin dalam pola fikir dan singkat dalam mengambil sikap," katanya. (fzr/ant)