SELATPANJANG - Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Kepulauan Meranti terus mengusut kasus dugaan korupsi pengadaan Alat Kesehatan (Alkes) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kepulauan Meranti.

Pihak penyidik terus melakukan proses penyelidikan dan melengkapi berkas perkara dengan melakukan pemeriksaan saksi-saksi dan mengumpulkan alat bukti.

Kepala Kejaksaan Negeri Kepulauan Meranti Budi Raharjo SH, melalui Kepala Seksi Pidana Khusus Robby Prasetya SH, mengatakan saat ini sudah enam orang yang dipanggil sebagai saksi termasuk mantan Direktur RSUD Kepulauan Meranti yang dijabat oleh drg Ruswita yang saat ini menjabat sebagai Kepala Dinas Kesehatan Kepulauan Meranti. 

"Sampai saat ini sudah enam orang yang kita panggil untuk dimintai keterangan termasuk mantan direktur RSUD yang sudah dua kali kita panggil. Mereka itu diantaranya PPTK, Bendahara, Kasubag TU dan pegawai Dispenda," kata Robby, Kamis (31/1/2019) sore.

Selanjutnya kata Robby, pihaknya akan melakukan pengecekan di lapangan, dan memeriksa barang bukti untuk memastikan apakah sesuai dengan daftar belanja.

"Nanti kita akan memeriksa apakah barang yang dibeli sesuai dengan yang dibayarkan," kata Robby lagi.

Selain itu, Robby mengaku enggan membeberkan secara detail terkait kasus tersebut, mulai dari anggaran hingga dugaan jumlah tersangka yang akan terseret. 

"Nanti akan segera kita umumkan. Yang jelas kegiatan di RSUD itu berjalan pada tahun anggaran 2015-2016" ungkapnya. 

Sementara itu, Mantan Direktur RSUD Kepulauan Meranti, Drg Ruswita yang ditemui, Rabu (30/1/2019) sore di Kejaksaan Kepulauan Meranti tampak tergesa gesa keluar dari ruangan Pidana Khusus tanpa mengeluarkan kata-kata dan berlalu meninggalkan Kejari, setelah wartawan mencoba untuk mengkonfirmasi keterkaitan dirinya terhadap dugaan korupsi tersebut.

Informasi yang dihimpun GoRiau.com, dugaan korupsi pada kegiatan pengadaan Alkes RSUD Kepulauan Meranti yang ditanggani oleh tim penyidik Kejari Meranti itu bersumber dari DAK. 

Untuk pagu anggaran sebesar Rp.15 milliar tahun anggaran yang diusulkan dan disetujui pada 2015 silam. Namun setelah disetujui anggaran yang dinantikan tidak kunjung dicairkan oleh pemerintah pusat ketika itu, padahal spek sudah dihitung, dan klop dengan pagu anggaran yang telah disetujui.

Namun anggaran yang telah disusun tidak kunjung diterima pada tahun 2015. Baru pada tahun 2016 pemerintah pusat melakukan pencairan terhadap kegiatan tersebut sebesar Rp.12 milliar. 

Menyesuaikan dengan besaran anggaran yang telah disediakan, pihak RSUD dikala itu disinyalir merubah spek Alkes yang telah mereka susun sebelumnya. 

Dampak dari pengurangan spesifikasi kegiatan, Pihak RSUD membeli Alkes yang tidak layak sehingga banyak yang tidak bisa digunakan, sehingga timbul dugaan tindak pidana korupsi di kegiatan tersebut. ***