JAKARTA - Isu intoleransi belakangan menguat, seiring semakin masifnya penggunaan media sosial (medsos). Kasus bullying, pemaksaan pendapat, dan lainnya menjadi isu sehari-hari yang terjadi belakangan ini. Padahal, berdirinya bangsa ini adalah hasil dari sebuah kesepakatan yang dasar utamanya adalah toleransi.

Demikian diungkapkan Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid. menurutnya, toleransi adalah prasyarat utama berlangsungnya sebuah negara atau masyarakat yang majemuk seperti Indonesia yang beragam.

"Indonesia yang terdiri dari banyak agama, suku, adat istiadat yang berbeda-beda, bahasa, asal-usul, diperlukan pengikat. Semua itu dibangun prinsip atau prasyarat untuk menguatkan itu semua yakni toleransi," katanya di Jakarta, Rabu (27/1/2021).

Dikatakan Gus Jazil, bangsa ini sudah bersepakat untuk menjadikan satu semboyan nasional toleransi yang disebut dengan Bhinneka Tunggal Ika. "Kita memaklumatkan, mengumumkan bahwa kita ini masyarakat yang beragam. Meskipun beragam, kita satu kesatuan. Ini pondasinya," tuturnya.

Sejak Indonesia lahir sampai hari ini, karena Indonesia dibangun di atas pondasi toleransi, menurut Gus Jazil, semestinya tidak muncul kasus-kasus yang sifatnya apakah itu rasialis, penistaan agama, bullying, penghinaan asal-usul orang atau lain-lain di atas negara yang toleran ini. "Indonesia yang dibangun berdasarkan hukum, semua masyarakat harus tunduk kepada hukum. Inilah yang mengatur toleransi," katanya.

Dikatakan Gus Jazil, toleransi mengandung dua dimensi. Pertama, dimensi ketidaksetujuan dengan pendapat atau pikiran orang lain. "Kalau setuju, nggak usah ada toleransi. Justru karena kita berbeda-beda pandangan, konsep pikiran. Karena ada dimensi ketidaksetujuan satu dengan yang lainnya maka diperlukan toleransi," katanya.

Dimensi kedua, tutur Gus Jazil, kalau ada perbedaan pendapat, tidak boleh memaksakan pilihan dan pikiran kepada orang lain. "Dalam semua agama ataupun negara, itu selalu ada yang disebut bibit perbedaan bahkan cara pandang yang berbeda-beda dalam satu tempat," katanya.

Namun, muncul juga pikiran yang menyalahkan yang lainnya, memaksakan pikirannya. Hal inilah yang akan berdampak menjadi  intoleran, perbuatan yang ekstrem, radikal, dan terorisme. "Kalau itu sudah aksi. Awalnya tidak setuju, kemudian di situ tidak ada toleransi, dimensi kesepahaman tidak ada, akan muncul dimensi kedua pemaksaan pendapat," katanya.

Menurut Gus Jazil, seringkali apa yang disebut dengan pikiran ekstrem dan radikal dengan membenarkan pikirannya sendiri. "Dia tidak mau tahu dengan pikiran yang lain. Bahkan ada kelompok yang mengkafirkan maka boleh melukai orang lain bahkan boleh membunuh di luar kelompoknya karena menurut dia, semua yang di luar kelompoknya dianggap sesat. Ini berbahaya bagi kelangsungan sebuah negara," tuturnya.

Karena itulah, menurut Gus Jazil, toleransi menjadi kebutuhan mutlak dan prasyarat berdirinya sebuah negara yang majemuk. "Tanpa toleransi tidak mungkin ada kesepakatan, dan kesepakatan itu membutuhkan toleransi," katanya.***