Muntah Cairan Kuning

WAKTU ITU, demikian Haidir, dokter jaga yang menanganinya langsung curiga. Karena Elis memuntahkan cairan berwarna kuning sesaat setelah menenggak kurang dari segelas air putih.

Dokter kemudian berinisiatif membawanya ke ruangan khusus untuk menjalani operasi secepatnya.

Pembedahan kemudian dilakukan tim medis yang curiga akan luka dalam yang merusak organ penting di dalam tubuh sang wanita malang. Beberapa jam kemudian, laki-laki berseragam serba putih mendatanginya, memberikan kabar buruk, bahwa limpa dan sebagian hati Elis dalam kondisi hancur.

Haidir tak mampu membendung kepanikannya hingga harus mendatangkan pihak keluarga lain untuk menandatangani kesepakatan medis dalam penanganan lanjutan.

Dia tak lagi mampu menyeimbangkan kewarasannya. Ucapan ‘Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun' bergemuruh dalam ruangan tersebut. Sang suami harus melihat gumpalan daging limpa dan hati sang isteri dikeluarkan ‘mentah-mentah’ dari dalam raga yang lemah.

Dia terpulas di atas ranjang penuh darah. “Tidak ada yang bisa dilakukan lagi kecuali pasrah,” Haidir terus meratapi pilihan kematian yang tak diharapkan. Hanya sepercik keyakinan akan kesembuhan sang isteri.

Dokter yang menangani operasi Elis nyaris menyerah, bahkan tidak bisa memberikan angka persentase keselamatannya mengingat kondisi yang kian parah.

Cairan merah kental menyelimuti ranjang operasi sang isteri. Satu persatu pihak keluarga berdatangan. Menunggu detik-detik kepastian akan satu pilihan pahit antara kematian dan kehidupan yang tak lagi normal.

Di tengah malam buta, suasana sunyi dalam ruangan itu mengheningkan keraguan yang luar biasa. Elis kemudian dipindahkan ke ruang perawatan yang dilengkapi dengan staf ahli dan peralatan khusus untuk mengobati dirinya yang terancam jiwa. Harapan kehidupan itu nyaris hilang.

Kematian itu belum menjadi pilihan. Elis akhirnya mampu bertahan selama tiga hari pasca menjalani operasi pengangkatan organ dalam tubuh. Kepulihan kondisi wanita ini begitu cepat, namun hanya sesaat setelah dihari keempat, kepanikan kembali ‘mengguncang’ Haidir dan keluarga.

Hari keempat di ruang ICU (Intensive Care Unit), Elis kembali merasakan sakit yang luar biasa. Keperihan itu dirasakan wanita ini hingga lebih 2 kali 24 jam, lima hari pasca operasi pertama.

Dokter Suindra SpB-KBD yang menangani operasi Elis kemudian datang mengunjungi. Dia baru saja memasuki masa kerja setelah cuti panjang. Pernyataan sang dokter sungguh mencengangkan. Dia bahkan menunjukkan respon keterkejutan mengetahui sang pasien masih mampu bertahan hidup di hari kelima, meski tanpa limpa dan kondisi hati yang terbungkus dalam raga.

“Seharusnya tiga hari setelah operasi pertama, dilakukan operasi kedua untuk membuka palutan hatiyang hancur.” Pernyataan dr Suindra yang masih diingat Haidir diwaktu enam tahun silam.

Tengah malam itu, Elis kembali menjalani operasi perbaikan hatinya yang hancur. Berjalan baik, dia mampu bertahan hidup untuk menantikan tindakan medis berikutnya.

Karena hasil pemeriksaan medis menyatakan sebelah lengannya juga mengalami ‘patah tebu’ hingga harus kembali dioperasi untuk upaya perbaikan.

Pilihan kematian masih menunggu. Setelah sekitar 21 hari dirawat di ICU, Elis akhirnya dipindahkan ke ruang perawatan bersama pasien umum. Fisiknya berlahan pulih, namun yang ada dibenaknya hanya sang putri tunggal (ketika itu).

“Mana Nazla....” pernyataan sang isteri mendatangkan kepanikan bagi Haidir. Dia berusaha terus menghindar dan tidak memberikan jawaban apapun atas pertanyaan memilukan itu.

Elis dengan keinginan yang menggebu terus menyudutkan sang suami yang akhirnya berbicara jujur. “Nazlah sudah pergi...!”

Sesaat setelah ungkapan itu, raungan tangis menggema di dalam ruang perawatan. Dua pasien dalam kamar yang sama terbangun dari tidur yang nyenyak, terusik dalam kesedihan sang bunda atas pilihan tragis di putri malang.

Kesedihan itu masih dalam bayang-bayang memilukan, meski dukungan ketabahan sang suami terus tersirat. Belenggu pilu tak menutupi paras Elis yang masih bertahan dalam penentuan pilihan pahit.

Sepekan kemudian, setelah 28 hari di rumah sakit, Elis diperbolehkan untuk kembali ke rumah, namun tetap dalam perawatan jalan. Keluarga ini kembali bersatu tanpa buah hati yang telah ‘dipetik’ sang pencipta sebelum ‘matang’. (bersambung)