Oleh Fazar Muhardi

HAIDIR TANJUNG masih dalam kepenatan setelah seharian bekerja. Dia adalah seorang pewarta di salah satu media nasional yang terkenal cukup kritis. Letih yang dirasakannya sore itu, Juli 2007, menghilangkan firasat buruk. Detik-detik suatu peristiwa besar yang tak terlupakan sebentar lagi terjadi.

Sang isteri, Elis Masyitoh, baru akan memulai aktivitasnya sebagai pembuat dan pengantar kue pesanan. Tiba-tiba seorang bocah ‘ingusan’ yang masih brusia tiga tahun, Nazla Jihan Hafizhah Tanjung, memelas manja ; “Mama ikut...”

Tanpa berpikir panjang, sang bunda menyertakan balita itu dalam rencana perjalanan mengendarai sepeda motor untuk mengatar kue pesanan para pelanggan.

Suasana ketika itu tidak menandakan sesuatu yang buruk bakal terjadi, cuaca bahkan sangat cerah dengan berhias ‘taburan’ motif awan yang menawan.

Ungkapan memelas sang putri, mungkin hanya pernyataan manja yang biasa dilakukan para balita se-usianya.

“Bremm.....,” Elis memutar gas pada ‘gagang’ sepeda motor ‘bebek’ kesayangannya, meninggalkan rumah untuk masa depan kehidupan. Laju kendaraan itu mengarah pada kompleks perumahan ‘tetangga’ yang berjarak sekitar 1,5 kilometer. Di tengah perjalanan, tiba-tiba fisik Elis melemah, pandangan ‘berkunang-kunang’.

Saat itu, seakan malaikat pencabut nyawa telah memberikan isyarat pilihan kematian terhadapnya. Sepeda motor yang ditungganginya bersama sang putri akhirnya terperosok ke dalam drainase yang dipenuhi dengan lumpur dan air kumuh.

“Dubrak....,” sesaat peristiwa terjadi, yang terasa hanya rasa sakit di sekujur tubuh, namun Elis terus dibayangi rasa khawatir tentang kondisi sang putri yang ketika itu entah bagaimana.

Seorang pria yang kebetulan melintas di sekitar lokasi kejadian bergegas mendatanginya. Dia panik melihat wanita tergeletak dengan kondisi setengah sadar, namun terus berteriak tentang keberadaan sang anak yang lepas dari pelukan.

Lelaki itu kemudian berinisiatif meminjam telepon genggam Elis untuk kemudian menghubungi pihak keluarga. Tidak lama kemudian, Haidir yang tadinya dibayangi kepenatan, berlari keluar hunian dengan semangat untuk memberikan pertolongan.

Yang terdengar hanya raungan panik, sang balita tertelungkup di dalam drainase dengan kondisi tak berdaya.

Keduanya kemudian dilarikan ke sebuah klinik terdekat dan kemudian dirujuk ke rumah sakit yang berada di tengah kota. Dalam perjalanan, Elis terus meraung kesakitan akibat benturan keras dalam peristiwa mengenaskan.

Kondisinya masih setengah sadar, kepanikan ‘memuntahkan’ amarah sang suami yang terus mengharapkan pilihan kematian itu adalah salah.

Tidak lama setelah tiba di rumah sakit, Elis langsung diletakkan ke ruang Instalasi Gawat Darurat. Tim medis mulai memeriksakan kondisi pasiennya. (bersambung)