JAKARTA - Analis politik internasional, Wowiek Prasantyo alias Bossman, mengungkap kemungkinan bahwa Pemerintah Indonesia saat ini tengah dalam proses mensentralisasi kekuatan politik guna menjaga keselamatan bangsa dan negara dari tekanan krisis pandemi Covid-19.

Kata Dia, banyak yang menduga aktivitas ekonomi global akan runtuh, akan mengancam Indonesia; Virus (Covid-19, red) mengakibatkan krisis multidimensi; Negara liberal demokrasi akan remuk; Korban semakin banyak.

Merujuk pada sejarah tekanan resesi dunia atau The Great Depression tahun 1929-1939, kata Bossman, Indonesia-Hindia Belanda saat itu-melalui Gubernur Jenderal Hermanus Johannes De Graff merilis vergaderverbod (agen rahasia untuk mengamankan situasi ekonomi dan mengamankan situasi negara).

"Agen rahasia dikerahkan untuk menjaga stabilitas, untuk menggebuk organisasi radikal non kooperatif," kata Bossman Wowiek dikutip GoNews.co dari videonya, Rabu (17/2/2021).

Dalam konteks saat ini, menurut Bossman Wowiek, sentralisasi kendali ekonomi dilakukan melalui Omnibuslaw Cipta Kerja, sementara sentralisasi atau stabilisasi politik dilakukan dengan penyerentakan semua pemilu (pemilihan umum) di tahun 2024.

Seperti diketahui bahwa Pilkada (pemilihan kepala daerah) yang akan dilaksanakan di tahun yang sama dengan gelaran pileg (pemilihan legislatif), pilpres (pemilihan presiden dan wakil presiden) sesuai UU 10/2016, berdampak pada keharusan melantik ratusan Pj (penjabat) kepala daerah di 2022-2023. Pemerintah yang akan menetapkan Pj-Pj tersebut.

Upaya sentralisasi itu, kata Bossman Wowiek, juga dibarengi dengan konsolidasi legislatif dimana DPR harus seirama dengan pemerintah.

Dalam konteks sentralisasi tersebut, kekuatan ormas (organisasi masyarakat) dan partai politik yang dianggap berpotensi bikin gaduh bagi stabilitas dan upaya bersama melewati pandemi akan ditarik masuk, termasuk Partai Demokrat.

"Setelah FPI, maka (ada, red) Partai Demokrat dianggap berpotensi tidak nurut. Yang terjadi saat ini adalah sang jenderal (bermanuver, red) mengakuisisi Partai Demokrat sebagai vergaderverbod sebelum tahun 2022. Demi keselamatan bangsa dan negara," kata Bossman Wowiek.

Bossman melanjutkan, "Sebagaimana fakta lapangan saat ini, sebagai partai oposisi, kekuatan partai Demokrat lebih kuat dibanding Gerindra di masa lalu,". Ia lantas menyebut soal tim siber dua partai yang merger dengan kekuatan sayap kanan, dan memiliki potensi bikin gaduh.

"Itu analisanya," ujar Bossman.

"Kekuatan partai yang tidak kooperatif ini berbahaya, tidak sebanding dengan state capacity. Itu analisa berikutnya," imbuh penulis desertasi mengenai negara sponsor terorisme itu.

Bossman memungkasi, "merapat ke pemerintah dan mengalihkan leadership dari Mayor Agus kepada Jenderal Moledoko adalah sikap yang cerdas. Ini pun adalah pendapat strategi bernegara sentralisasi,".

Apa yang disampaikan Bossman juga menemui titik temu tersendiri dengan informasi yang didapat GoNews.co dalam suatu obrolan makan siang dengan 'penjaga tokoh intelijen nasional' di bilangan Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.

Ia mengungkapkan bahwa fokus pada upaya menyelamatkan bangsa dari dampak pandemi Covid-19 ketimbang riuh dengan Pilkada 2022-2023 nampaknya menjadi pilihan elit, bahwa 'ikan kecil akhirnya nempel dengan ikan besar' adalah konsekuensi kebangsaan. Indonesia masih mencari model demokrasinya sendiri, dan harus bisa adaptif terhadap kemenangan ekonomi kapitalis.

Analisa Bossman Wowiek, juga terbaca seragam dengan tulisan Zeng Wei Jian alias Ken Ken (wartawan Majalah d’FISH 2003/2004) dalam tulisan berjudul Jokowi's Vergader Verbod. Mengutip seword, Zeng Wei Jian merupakan pentolan dan pendukung Prabowo yang menjadi ujung tombak dari pegiat media sosial laskar pembela Anies-Sandi.

Sebuah artikel di kumparan.com menyebut bahwa Vergaderverbod dikeluarkan pemerintah Kolonial Belanda mulai tanggal 1 Agustus 1933. Vergaderverbod melarang anggota masyarakat dalam bentuk apa pun mengadakan rapat, musyawarah, berunding dan bertukar pikiran yang terbuka kepada khalayak ramai tanpa izin pemerintah kolonial. Meraka yang kedapatan berkumpul lebih dari tiga orang akan ditangkap dan dikenakan sanksi.

Artikel itu menuturkan, "tidak sedikit kaum pergerakan kemerdekaan yang merasakan akibat dari Vergaderverbod dari penjara ke penjara sampai mengalami 'pembuangan ke Boven Digul'".

Merujuk pada situasi Indonesia yang saat ini masih berupaya menekan angka penyebaran Covid-19, larangan berkumpul atau berkerumun lebih dari 3 orang juga diberlakukan di zona tertentu. Larangan ini tertuang dalam Inmendagri (Instruksi Menteri Dalam Negeri) nomor 3 tahun 2021, diktum kedua, huruf d, nomor 4.

Sementara dlam hal menjaga pendapat warga negara di alam demokrasi, Pemerintah menunjukkan semangat yang kontra dengan sejarah vergaderverbod. Pendapat rakyat di tengah percepatan digitalisasi berbagai bidang yang akhirnya hidup di dunia daring dipresepsikan akan semakin dijaga. Itu setidaknya melalui permintaan pemeritah untuk dikritik dan wacana bersama untuk merevisi UU ITE (Undang-Undang Informasi Teknologi Elektronik).***