MENJELANG senja, senyum Sularjo begitu manis di tengah hijaunya hamparan padi di sawah miliknya. Iya, Mbah Sularjo namanya, hampir setengah abad beliau telah menjadi petani padi sawah di Desa Langsat Permai, Kecamatan Bunga Raya. Sularjo tersenyum manis lantaran sikap bijaknya bertani memberi bukti yang nyata.

Bagaimana tidak, musim tanam tahun ini beliau mampu menghemat 70 persen biaya pemupukan dan terbukti hijau padi miliknya tidak kalah dengan padi tetangganya. Jika sebelumya, Sularjo harus merogoh kantong hampir Rp7 juta untuk biaya pupuk per hektarnya, namun musim ini beliau hanya menghabiskan kurang dari Rp2 juta.

Jika Mbah Sularjo begitu bijak bertani, lantas kenapa masih banyak petani-petani lain yang justru berlomba-lomba menabur uang di sawah ladangnya? Lantas apa yang harus dilakukan?

Pupuk adalah suatu bahan yang mengandung satu atau lebih unsur hara atau nutrisi bagi tanaman untuk menopang tumbuh dan berkembangnya tanaman. Unsur hara yang diperlukan oleh tanaman adalah C, H, O dan ini tersedia melimpah di alam, kemudian ada unsur N, P, K, Ca, Mg, S atau hara makro, dan Fe, Mn, Cu, Zn, Cl, Mo, B yang merupakan hara mikro. Dalam aplikasinya, pupuk dapat diberikan langsung ke tanah, melalui daun, atau bisa juga diinjeksi ke batang tanaman.

Jika melihat dari sisi jenisnya, pupuk dapat berbentuk padat maupun cair. Berdasarkan proses pembuatannya pupuk dibedakan menjadi pupuk alam dan pupuk buatan. Pupuk alam adalah pupuk yang didapat langsung dari alam seperti fosfat alam, pupuk kandang, pupuk hijau dan kompos.

Jumlah dan jenis unsur hara yang terkandung di dalamnya sangat bervariasi. Sebagian dari pupuk alam dapat disebut sebagai pupuk organik karena merupakan hasil proses dekomposisi dari material makhluk hidup, seperti, sisa tanaman, kotoran ternak dan lain-lain.

Menurut Sutedjo (1999), pupuk adalah bahan yang diberikan ke dalam tanah baik yang organik maupun anorganik dengan maksud mengganti kehilangan unsur hara dari dalam tanah yang bertujuan untuk meningkatkan produksi tanaman dalam keadaan lingkungan yang baik. Sedang pemupukan adalah penambahan bahan tersebut ke tanah agar tanah menjadi lebih subur.

Pemupukan pada umumnya diartikan sebagai penambahan zat hara tanaman ke dalam tanah. Sehingga pada dasarnya tujuan pemupukan adalah untuk memenuhi jumlah kebutuhan hara yang tidak sesuai di dalam tanah sehingga produksi meningkat. Hal ini berarti penggunaan pupuk dan input lainnya diusahakan agar mempunyai efisiensi tinggi.

Untuk mendapatkan hasil produksi yang maksimal, pemahaman tentang cara memupuk yang benar, efektif dan efisien, seyogyanya sudah sangat dipahami oleh petani.

Akan tetapi, dalam praktiknya sering kita temui justru petani melakukan pemupukan bukanlah sesuai dengan kebutuhan tanaman, tetapi justru malah melihat tetangga memakai pupuk apa.

Bahkan sadisnya, justru ada petani malah berlomba-lomba semakin membesarkan jumlah pupuk yang ditabur dengan harapan semakin banyak pupuk maka akan semakin besar pula produksinya. Semua ini tidak terlepas dari kurang bijaknya pemahaman petani terhadap tata cara bertani dengan benar, efektif dan efisien.

Minimnya pemahaman petani terhadap penggunaan pupuk serta aplikasinya sangat berdampak besar terhadap besar kecilnya pengeluaran petani. Semakin besar biaya yang dikeluarkan maka akan semakin mengurangi margin untung yang diterima petani.

Maka tidak heran jika potret BPS Provinsi Riau melalui besaran nilai tukar petani tanaman pangan (NTPP) pada November 2020 hanya sebesar 93,15, bahkan di bulan Desember 2020 mengalami minus 0,23 menjadi 92,94. Padahal jika kita melihat dari nilai tukar petani subsektor lain justru mengalami peningkatan.

Melihat fenomena di atas, satu hal yang harus menjadi kesepakatan kita bersama bahwa menurunnya nilai tukar petani pada subsektor tanaman pangan merupakan early warning atau peringatan dini terhadap kondisi usaha pangan apakah usaha tersebut menguntungkan atau tidak untuk dilakukan.

Nilai penurunan memiliki arti bahwa pada periode tersebut nilai uang yang dibayar petani-petani tanaman pangan lebih besar dibandingkan nilai uang yang diterima mereka. Artinya, pada periode tersebut petani mengalami kerugian.

Minimnya pemahaman para petani pangan terutama petani padi sawah dalam pengaplikasian pupuk secara benar, efektif dan efisien seyogyanya harus menjadi perhatian semua pihak, terutama dinas terkait. Kondisi ini jika kita biarkan justru akan membuat petani padi sawah akan cenderung mengalami kerugian.

Seringnya para petani padi sawah mengalami kerugian akan memengaruhi minat kawula muda, bahkan mereka akan semakin malas menjadi petani. Padahal, kita semua sepakat bahwa meregenerasi petani padi sawah haruslah mutlak dilakukan dengan segera.

Hal ini cukup beralasan mengingat rata-rata umur petani padi berdasarkan survei yang dilakukan BPS Provinsi Riau telah mencapai usia 50 tahun.

Semakin menuanya usia petani akan menimbulkan probelamatika baru di kemudian hari, terutama ketika berbicara produktivitas. Oleh karenanya, upaya menarik minat kawula muda untuk terjun ke sawah menjadi petani mutlak harus segera dilakukan.

Upaya menarik minat kawula muda ini hanya bisa dilakukan jika secara ekonomi sektor pangan, terutama padi sawah lebih menarik dan menguntungkan untuk dilakukan.

Negeri ini akan mampu meningkatkan produksi pangan atau bahkan swasembada pangan terutama beras apabila kita mampu membuat petani padi sejahtera. Sejahteranya petani padi akan memacu minat generasi muda untuk terjun menjadi petani.

Kurang bijaknya sebagian besar petani padi sawah dalam pengaplikasian pupuk secara benar, efektif dan efisien harus menjadi perhatian semua pihak, terutama dinas terkait.

Mencetak sawah baru memang sangatlah penting, akan tetapi edukasi dan pendampingan terhadap petani agar semakin bijak bertani tentu juga sangatlah penting. Satu hal yang pasti, jika semua petani padi sawah bersikap bijak seperti Mbah Sularjo, maka senyum bahagia beliau tentu juga akan dirasakan oleh semua petani padi sawah di pelosok negeri ini. Semoga…..

Mujiono, SE adalah Statistisi Ahli BPS Provinsi Riau.