JAKARTA - Ribuan mahasiswa berencana kembali menggelar demonstrasi di depan gedung DPR/MPR, Jakarta pada Senin (30/9/2019) besok. Saat ini Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia sedang berkonsolidasi soal aksi mereka.

Rencana ini disampaikan oleh Presiden Mahasiswa Trisakti, Dinno Ardiansyah kepada Kompas.com sebagaimana dikutip GoNews.co, Sabtu (28/9/2019).

Dinno menuturkan saat ini Aliansi BEM Seluruh Indonesia sedang berkonsolidasi menentukan bentuk aksi mereka. "Apakah turun aksi ke DPR atau ada cara lainnya," kata Dinno.

Menurut Dinno, aksi demonstrasi pada Senin besok bertepatan dengan rapat paripurna terakhir anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019. Dinno mengatakan mahasiswa akan mengawal dan tetap menyampaikan penolakan terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Tuntutan kita sama seperti kemarin. Kita menolak RUU bermasalah dan kita tetap menolak UU KPK yang telah disahkan," ujar Dinno.

Dinno berharap aksi demonstrasi nanti dapat memberikan tekanan psikologis kepada pemerintah dan DPR. Mahasiswa berharap pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang KPK.

Perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Jakarta Andi Prayoga meminta pemerintah lebih responsif menanggapi tuntutan massa. Dia mengatakan berbagai elemen masyarakat di Indonesia kini bergerak secara masif menggelar unjuk rasa sebagai bentuk penolakan terhadap revisi UU KPK.

"Pemerintah sebetulnya harus lihat. Mahasiswa, masyarakat, bahkan anak SMA, sudah bergerak hampir di seluruh kabupaten di Indonesia," ujar Andi saat berbicara di D'Consulate Resto and Longue, Jalan Wahid Haysim, Jakarta Pusat, Sabtu (28/9/2019).

"Dengan adanya penolakan, harusnya pemerintah lebih responsif. Jangan pemerintah seakan-akan tidak tahu dan bersikap abai," lanjutnya.

Ia menuturkan apa yang disampaikan dan menjadi tuntutan mahasiswa seharusnya ditampung oleh pemerintah karena sesuai dengan keinginan rakyat.

Selain itu, Andi menilai pembuatan Undang-Undang KPK adalah atas dasar kepentingan. Menurutnya mahasiswa hadir mewakili suara rakyat, menuntut kepentingan tersebut.

"Ini penolakan RUU KPK dan itu sebetulnya sesuai dengan keinginan rakyat. Pembuatan yang terburu-buru, tidak melibatkan KPK, itu membuat kita curiga. Masyarakat curiga terhadap itu," kata Andi.

Aktivis dan pengamat politik Ray Rangkuti menilai aksi demonstrasi mahasiswa di beberapa daerah di Indonesia dalam beberapa hari terakhir terjadi karena adanya pengabaian suara rakyat.

Oleh karena itu, Ray Rangkuti mengimbau pemerintah dan DPR tidak mengabaikan suara rakyat yang menolak UU KPK hasil revisi dan RKUHP.

"Eksekutif, Presiden Jokowi, jangan abaikan suara rakyat yang pelan sampai yang kencang. Demo besar-besaran ini terjadi karena adanya pengabaian suara rakyat," ujar Ray dalam sebuah acara diskusi bertema 'Membaca Gerakan Kaum Muda Milenial' di kawasan Cikini, Jakarta, Sabtu (28/9/2019). Ray Rangkuti juga berharap Presiden Joko Widodo segera menerbitkan Perppu KPK.

Hal ini menjadi semakin penting karena ada dua korban jiwa dari mahasiswa yang tewas saat mengikuti aksi unjuk rasa di Kendari, Sulawesi Tenggara.

"Presiden katakan akan pertimbangkan Perppu. Saran saya jangan tunda lagi. Korban sudah muncul, eskalasi kekerasan meningkat. Saran saya keluarkan saja Perppu atas pertimbangkan keamanan," katanya.

Kekerasan Penanganan Demonstrasi, Profesionalisme Polisi Dipertanyakan

Sementara itu, Badan Pekerja Kontras Sulawesi Asyari Mukrim menyatakan, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamnan saat menganakan aksi unjuk rasa di berbagai daerah menunjukkan bahwa aparat kepolisian gagal melakukan reformasi di sektor keamanan. Penanganan demonstrasi di Kendari, Sulawesi Tenggara satu diantaranya, dua mahasiswa menjadi korban.

Mahaiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Halu Oleo (UHO), Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) Randi (21), tewas terkena peluru tajam dari jarak dekat. Ada juga mahasiswa jurusan Teknik D-3 UHO Kendari, Muh Yusuf Kardawi (19), menjadi korban kedua yang meninggal setelah perawatan intensif usai dioperasi di RSU Bahteramas Kendari, Sultra

"Segala bentuk tindakan aparat kepolisian menunjukkan bahwa aparat Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara telah melakukan tindakan abuse of power," kata Asyari dalam keterangan pers yang diterima Jumat (27/9).

"Untuk ini, sebaiknya segera bentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF), dengan melibatkan semua unsur seperti kampus dan organisasi masyarakat sipil untuk mengusut peristiwa ini," kata Mualimin Pardi Dahlan Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Jumat (27/9) malam.

Tidak Mengguna Senjata

Selain di Kendari korban bentrok juga dialami mahasiswa dari Jakarta, Bandung, Surayabaya, Malang, Medan, Palembang, Makassar, Samarinda, Balikpapan dan daerah lain.

Sementara itu, Kepala Divisi (Kadiv) Humas Mabes Polri, Irjen Pol Muhammad Iqbal mengungkapkan, Polda Sulteng juga sudah mengautopsi satu korban tewas bernama Randi (21). Mahasiswa Fakultas Perikanan Universitas Halu Oleo itu, diduga tewas akibat ditembak.

"Hasilnya (autopsi) akan disampaikan ada dua hal saja. Apakah meninggal akibat kena tembak dugaan tembakan, atau akibat meninggal bukan karena tembakan. Ini sedang kita rampungkan. Dan autopsi ini diminta di tempat yang netral. Dan disaksikan oleh semua pihak," kata Iqbal di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (27/9).

Kapolri, Jenderal Tito Karnavian, sambung Iqbal, sebelumnya sudah memberikan arahan kepada kepala satuan wilayah, Kepala Kepolisian Daerah (Polda), dan jajaran Korps Bhayangkara lainnya. Dalam mengamankan unjuk rasa khususnya mahasiswa, aparat kepolisian tidak dibekali senjata api.

"Apalagi menggunakan peluru karet dan peluru tajam. Wong senjatanya dilarang dibawa," ungkap dia, Jumat (27/9).

Prosedur Kepolisian Dipertanyakan

Pada aksi lanjutan di di depan Gedung DPR RI, Selasa 23 September lalu, mahasiswa Universitas Al Azhar Jakarta, Faizal Amir, harus mengalami sejumlah rangkaian operasi karena mengalami pendarahan otak. Karena ada bagian tubuh yang patah dan memar, selain itu juga pendarahan di otaka yang menyebabkan Faizal mengalami koma pasca-ricuh di lokasi demonstrasi.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Najih Prastiyo mempertanyakan, bagaimana prosedur pengamanan demonstrasi yang dianggap menyebabkan dua mahasiswa meninggal dunia.

“Kami mengecam atas terjadinya peristiwa ini. Bagaimana bisa dibenarkan, prosedur pengamanan unjuk rasa dengan memakai senjata lengkap dengan peluru tajam. Ini mau mengamankan aksi, atau mau perang kepada mahasiswa?" kata dia.

Polisi Harus Cepat Tangkap Provokator

Nah, dari semua agenda unjuk rasa di sejumlah daerah di tanah air ini, aparat kepolisian begitu cepat menangkap oknum-oknum yang mereka nilai bagian dari penyusup dalam lingkaran aksi demonstrasi mahasiswa.

Lihat saja, ketika aksi "Surabaya Menggugat", Kamis (26/9) lalu, Polrestabes Surabaya menangkap setidaknya 46 orang yang diduga menjadi provokator dengan dugaan berbagai alasan.

Kasatreskrim Polrestabes Surabaya, AKBP Sudamiran mengatakan, penangkap 46 orang saat aksi "Surabaya Menggugat" itu karena kedapatan membawa dan melempar bom molotov di tengah aksi. Tak hanya itu, orang-orang yang diduga menjadi provokator hingga menyebabkan kericuhan timbul beberapa kali juga ditangkap.

"Jadi yang lempar-lempar itu kami tangkap. Diduga mereka yang memprovokasi massa, jadi tiba-tiba ricuh seperti itu," kata Sudamiran kepada IDN Times, Jumat pagi (27/9).

Walaupun pada akhirnya Polrestabes Surabaya melepaskan 46 orang tersebut secara bertahap, karena polisi menilai mereka masih berstatus saksi, bukan tersangka.

"Sudah kami periksa semua. Pokoknya 1x24 jam sudah kami bebaskan," lanjut perwira polisi dengan dua melati itu.

Pembelaan Hak Warga

Sama halnya pada aksi demonstrasi Aliansi Mahasiswa se-Sumsel di Palembang, pada Rabu (24/9) lalu, gaya aparat yang selalu bersikap sesuai dengan SOP, juga mengakibatkan 49 mahasiswa dari sejumlah universitas dan perguruan tinggi di Palembang yang terdata, harus dilarikan ke rumah sakit.

Sebanyak 28 mahasiswa dibawa ke Rumah Sakit (RS) Charitas, 8 orang ke RS AK Gani, dan 13 orang di RS Muhammadiyah. Mahasiswa yang menjadi korban itu kebanyak mengalami luka dan memar akibat hantaman benda tumpul.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang bersama jaringan advokat dan Walhi Sumsel, mengecam tindakan represif aparat penegak hukum dalam aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Sumsel, Jalan POM IX, Palembang tersebut.

Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, Hairul Sobri mengatakan, pihaknya mendirikan posko bantuan yang bertempat di Sekretariat Walhi Sumsel, untuk mengakomodir mahasiswa yang menjadi korban bentrok dengan aparat kepolisian. Saat ini, mahasiswa yang mengalami cedera itu mulai membangun komunikasi dengan posko bantuan hukum.

Perwakilan LBH Palembang, Juardan melanjutkan, tindakan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian membuat pihaknya bersepakat untuk membela hak warga negara yang dilanggar oleh penegak hukum, terutama saat penyampaian pendapat di depan gedung DPRD Sumsel.

"Kita kecam aksi kekerasan kemarin, hal ini berbahaya saat mahasiswa menyuarakan pendapat di bungkam dengan tindakan represif kekerasan oleh aparat kepolisian. Selama masa aksi tidak membahayakan, polisi tidak berhak membubarkan. Dari data kita mengindikasikan dan diduga kuat, ada upaya kekerasan dimulai dari aparat," tegas dia.

Selain itu kesensitifan polisi terhadap unjuk rasa ini juga bukan mengarah pada mahasiswa. Tapi, musikus Ananda Badudu, ditangkap oleh personel Polda Metro Jaya pada Jumat (27/9) sekitar pukul 04.30 WIB. Penangkapan tersebut diduga berkaitan dengan pengelolaan dana untuk aksi mahasiswa di depan gedung DPR pada pekan ini.

Ananda memang menjadi sorotan saat aksi demo mahasiswa berlangsung di depan gedung DPR RI, pada Rabu (24/9) lalu. Melalui platform KitaBisa.com, mantan vokalis Banda Neira itu, menginisiasi pengumpulan dana untuk mendukung logistik peserta aksi. Selain menyuplai konsumsi, ia juga mengatur bantuan medis seperti ambulans.

Sebelum Ananda Badudu, polisi juga telah menangkap aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Dandhy Laksono, karena cuitannya soal Papua. Penangkapan kedua aktivis ini pun memancing reaksi warganet. Tagar #BebaskanDhandy dan #BebaskanAnandaBadudu menggema di Twitter.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid mengungkapkan, pihaknya melihat polisi memukuli pengunjuk rasa dengan brutal, tak ubahnya seperti pada kerusuhan di Jakarta 21-22 Mei 2019.

Amnesty Internasional Indonesia melihat, ada beberapa kejadian di mana polisi menggunakan kekerasan saat menghadapi pengunjuk rasa. Amensty meminta pihak berwenang untuk melakukan penyelidikan terkait kekerasan yang terjadi secara masif.

"Ini sama dengan penggunaan kekuatan secara berlebihan, termasuk memukul menendang tersangka yang sudah ditangkap," ungkap Usman, dalam siaran persnya, Kamis (26/9).

Menurut Usman, walau tidak mematikan, gas air mata dan peluru karet dapat menyebabkan cedera serius dan bisa menyebabkan kematian. Atas dasar itu, Untuk itu, pihaknya menegaskan, penggunaan gas air mata harus sesuai dengan prinsip legalitas, prinsip keperluan dan proporsionalitas.

"Metode ilegal dalam pelaksanaan tugas kepolisian, termasuk ketika protes memanas, adalah sumber keprihatinan yang mendalam," tandas dia. ***