PEKANBARU – Tim kebanggaan masyarakat Riau, PSPS semakin terbirit-birit di Liga 2 Indonesia wilayah Barat. Hasil mengecewakan dari 4 laga yang dilakoni membuat Askar Bertuah jadi penghuni papan bawah. Kenapa bisa begitu? Apakah ini hanya kesalahan pemain atau pelatih saja, atau ada faktor lainnya?

Berkaca dari 2 laga home yang sudah dilakoni di Stadion Utama Riau yakni menghadapi Semen Padang FC dengan skor 1- 1 dan PSMS Medan 3-4, ada perubahan mencolok dari kedua permainan.

Jika pada partai awal menghadapi Semen Padang, permainan PSPS belum berkembang, penyerangan tidak terorganisir dengan baik, bahkan banyak posisi tidak klop dengan kemampuan pemain namun saat menghadapi PSMS Medan, justru PSPS sudah mulai memperlihatkan karakternya meski masih ada posisi yang rapuh karena tidak diisi dengan pemain yang mumpuni, apalagi yang dihadapi adalah pemuncak klasemen.

Saat menjamu PSMS, terlihat organisasi Ayam Kinantan sudah teratur, setiap lini diisi dengan pemain yang pas, sehingga komando yang dipegang kapten tim PSMS, Joko Susilo selalu bisa diwujudkan dengan baik oleh rekan-rekannya. Tak salah, jika PSMS menjadi tim yang tak terkalahkan sejak awal gong Liga 2 ditabuh.

Berbeda dengan PSMS, PSPS yang sudah mulai memperlihatkan organisasinya tidak mampu mengembangkan permainan. PSPS masih timpang terutama dari sayap kanan, akibatnya, PSPS masih mengandalkan penyerangan dari sayap kiri dengan bertopang pada Barnabas Sobor, Engelberd Sani yang didukung pemain yang bisa mobile Rio Hardiawan.

Dari sisi kanan, permainan PSPS terlihat tidak begitu berkembang dan ini terbaca oleh lawan. Sedangkan dari lapangan tengah, PSPS juga masih kesulitan mengembangkan permainan. Untungnya, di posisi belakang cukup memiliki kerjasama yang baik.

Melihat pertandingan tersebut, jelas PSPS membutuhkan pemain-pemain baru dengan kualitas terbaik terutama di wing kanan, striker dan gelandang serang. Dan nampaknya, pelatih Yusup Prasetiyo memahami benar kelemahan timnya, namun tidak berdaya karena memang stok pemain yang ada sangat terbatas.

Sepakbola sama saja dengan organisasi yang lain, perlu strategi dan bekal yang cukup, baik dari segi personil maupun keahlian, ditambah cadangan yang cukup untuk mengarungi kompetisi yang panjang. Tanpa itu, jenderal perang sehebat Sun Tzu pun akan kewalahan jika diberi prajurit yang tidak mendukung strategi yang akan dimainkan.

Jika ''belanja pemain'' minim, tentu yang didapat adalah yang minimalis juga. Hal itu pula yang dulu disadari manajemen PSPS era 2009-2010 yang akhirnya menggelontorkan belanja pemain hingga belasan miliar untuk membeli pemain sekelas Hendro Kartiko, Bejo Sugiantoro, Erol FX Iba, Kurniawan Dwi Julianto, Soni Kurniawan, Bima Sakti dan banyak pemain timnas Indonesia lainnya.

Belanja pemain memang belum menjamin keberhasilan, namun paling tidak, panglima perang, dalam hal ini pelatih, bisa mengembangkan permainan ketingkat yang lebih tinggi. Apalagi dalam sepakbola Indonesia, faktor non teknis masih memberi andil besar dalam sebuah kemenangan.

Jika melihat susunan pemain PSPS dalam empat laga yang sudah dilakoni, jelas tergambar jika tim Askar Bertuah melakukan pengetatan belanja pemain sehingga posisi - posisi yang ingin diperkuat jajaran pelatih tidak terisi dengan baik. Pengiritan belanja pemain, jelas akan membuat sebuah tim menjerit, apalagi jika target yang diberikan terlalu tinggi, seperti melangkah ke Divisi 1.

Kita mungkin tidak bisa menyalahkan investor yang sudah membeli PSPS karena memang basis bisnisnya makanan siap saji seperti burger dan perhotelan. Keuntungan bisnis makanan selama ini memang belum mampu untuk membiayai klub, jadi wajar saja jika tiket pertandingan di-push harganya. Namun dengan kualitas pemain seperti yang ada saat ini, tentu belum bisa menjadi magnet yang mampu menarik penonton datang langsung ke stadion.

Sebagai negeri penghasil sawit terbesar di Indonesia, ini memang ''mencoreng'' nama Riau. Dari ratusan perusahaan sawit baik perkebunan hingga industri, tak satupun yang berminat untuk mendukung tim PSPS. Hal ini berbeda dengan PSMS Medan dan Semen Padang, dimana banyak perusahaan menengah dan besar di daerah mereka, turun langsung memberikan pendanaan.

Dukungan korporasi memang membutuhkan sebuah dobrakan untuk menggerakkan, terutama dari pejabat setempat baik gubernur, walikota dan tokoh - tokoh lokal. Kita lihat bagaimana Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi merangkul para pengusaha untuk PSMS, begitu pula Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi, bahkan legislator Sumbar Adre Rosiade juga memberikan dukungan penuh untuk Semen Padang FC.

Tentunya dukungan seluruh pihak itu, tidak bisa didapatkan dengan status klub yang tidak penuh dimiliki daerah. Mudah-mudahan, kedepan, Riau akan memiliki klub Liga 1, yang kepemilikan sahamnya, juga berasal dari keberagaman investor lokal. Aamiin. ***