KETENTUAN tentang penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Pasal 36 ayat 3 berbunyi, ''Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia''. Pasal 37 ayat 1 berbunyi, ''Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia''. Pasal 38 ayat 1 berbunyi, ''Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum''.

Bahasa di ruang publik menarik perhatian karena menggambarkan keadaan suatu bahasa dan perilaku masyarakat terhadap bahasa tersebut. Artinya, bahasa ruang publik tidak sekadar bahasa yang terpajang dan dipertontonkan kepada khalayak, tetapi juga mengandung informasi tentang wilayah itu.

Ruang publik dapat diakses oleh siapa pun dan menjamin kebebasan beraktivitas. Ruang publik juga harus tanggap atau mampu memenuhi kebutuhan warga yang terwujud dalam desain fisik dan pengelolaannya. Selain itu, ruang publik harus meningkatkan manusia sebagai pengguna ruang untuk membuat hubungan yang kuat antara ruang dengan kehidupan mereka dan dunia yang lebih luas. Artinya, terdapat pemerolehan informasi dan sistem pemaknaan di ruang publik.  Masyarakat pengguna ruang publik akan menyerap informasi dan memaknainya. Lebih jauh lagi, informasi yang diserap dan dimaknai tersebut akan memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Penyampaian informasi di ruang publik menggunakan bahasa. Jika informasi disampaikan dalam bahasa Indonesia, disinyalir informasi tersebut diserap, dimaknai, dan diingat dalam bahasa Indonesia juga. Secara psikologis telah terjadi pemerolehan bahasa Indonesia dalam pengalaman intelektual seseorang. Secara sosial bahasa Indonesia akan digunakan dalam membangun hubungan atau koneksi antara ruang dan masyarakat.

Mengenai peningkatan penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik, diperlukan adanya upaya kuat untuk menata dan membangun kembali karakter bangsa dalam hal berbahasa Indonesia. Upaya peningkatan penggunaan bahasa di ruang publik tidak hanya melibatkan pemerintah, tetapi harus mendapat dukungan dari masyarakat.

Bagaimanakah dukungan masyarakat terhadap penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik? Balai Bahasa Provinsi Riau mengadakan penelitian terkait hal itu dengan menyebarkan kuesioner yang mengukur sikap bahasa masyarakat terhadap bahasa Indonesia. Responden penelitian dibedakan dalam dua kategori, yaitu produsen/pemilik/pengelola (hotel atau penginapan, perumahan, restoran atau kafe, toko, tempat wisata, badan usaha, iklan produk atau kegiatan, rumah sakit, lembaga pendidikan, serta makanan dan minuman berbahasa asing) dan konsumen/pengunjung/pembeli (tamu hotel, penghuni perumahan, pengunjung restoran/kafe, pengunjung pusat perbelanjaan, konsumen makanan/minuman, pengunjung tempat wisata, pelajar, mahasiswa, ASN, dan karyawan swasta).

Berikut simpulan hasil penelitian: (1) alasan terbanyak kelompok produsen/pemilik/pengelola menggunakan bahasa asing (Inggris) di ruang publik Kota Pekanbaru ialah agar terkesan mahal/mewah (34%). Artinya, ada anggapan bahwa bahasa Inggris memiliki daya pragmatik yang mampu menimbulkan citra mahal/mewah. Inilah salah satu pemicu produsen/pemilik/pengelola badan usaha di Kota Pekanbaru menggunakan bahasa Inggris untuk penamaan dan penyebaran informasi; (2) bahasa Indonesia yang sebaiknya digunakan di ruang publik mendapat tanggapan sebesar 52% dari kelompok produsen/pemilik/pengelola dan 54% dari kelompok konsumen/pengunjung. Jawaban penggunaan bahasa Indonesia dan Inggris di ruang publik mendapat tanggapan 43% dari kelompok produsen/pemilik/pengelola dan 37%, dari kelompok konsumen/pengunjung. Jawaban lain yang dimunculkan responden ialah penggunaan bahasa Indonesia dan daerah, serta penggunaan tiga bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia, daerah, dan Inggris; (3) regulasi penggunaan bahasa Indonesia (Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 dan Perpres Nomor 63 Tahun 2019) diketahui oleh 51% responden, 49% lainnya tidak mengetahui tentang regulasi itu. Artinya, sosialisasi regulasi kebahasaan belum maksimal sehingga diperlukan upaya yang lebih masif dan berkesinambungan; (4) mayoritas responden kelompok produsen/pemilik/pengelola merasa harus berperan menjaga bahasa negara (97%). Sikap positif ini tidak terlepas dari pengetahuan masyarakat tentang pentingnya eksistensi bahasa negara bagi sebuah bangsa, terutama bagi bangsa multikultural seperti Indonesia. Di satu sisi responden memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi terhadap bahasa negara, di sisi lain disinyalir adanya kepentingan atau tujuan tertentu dalam penggunaan bahasa asing; (5) aspek afektif nasionalisme kelompok konsumen/pengunjung mendapat tanggapan positif sebesar 87%. Hal ini menunjukkan masih terdapat 13% responden yang bersikap negatif terhadap rasa nasionalisme dalam berbahasa; (6) indikator kognitif responden kelompok konsumen/pengunjung memiliki indeks kumulatif 0,85 untuk pemahaman dan 0,88 untuk pengetahuan kaidah bahasa Indonesia. Artinya, sebagian besar responden memiliki kognisi yang baik tentang kaidah bahasa Indonesia. Hal ini berarti bahwa masyarakat mengetahui dan memahami kaidah bahasa Indonesia; (7) indeks kumulatif indikator konatif hanya 0,015 untuk aspek bahasa, berarti indeks kumulatif aspek nonbahasa 0, 985. Terdapat perbedaan yang sangat besar untuk alasan memilih produk/tempat berbahasa asing. Artinya, alasan responden bukan karena bahasa asing yang digunakan, tetapi ada alasan lain yang lebih realistis, seperti kebersihan/kenyamanan, harga, kelengkapan, rasa makanan, rasa ingin tahu, dan kualitas. Pengaruh penggunaan bahasa asing pada nama tempat atau produk sangat kecil terhadap sikap bahasa masyarakat.

Mengacu pada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pengaruh bahasa asing terhadap minat konsumen/pengunjung/pembeli tidak signifikan. Masih perlukah bahasa asing di ruang publik?***

Dr. Fatmawati Adnan, M.Pd. adalah peneliti di Balai Bahasa Riau.