PEKANBARU - Beredar viral surat Pertamina kepada SKK Migas tentang rekomendasi menteri BUMN untuk penunjukan Jafee Suardin mengganti dirut Pertamina Hulu Rokan (PHR) yang lama RP Yudantoro menuai polemik dan tanya.

Nama Jafee Suardin adalah nama yg cukup baru di industri migas tanah air dan diangkat menjadi deputi perencanaan SKK Migas karena kedekatannya dengan Archandra Tahar (AT) exs wamen ESDM sebagai teman satu almameter di US.

Menurut data yang diperoleh beliau tidak mempunyai pengalaman yang cukup di oil gas upstream industri, hanya sekitar 7 thn bekerja sebagai engineer itupun di bidang keselamatan kerja (HES) pada proyek di Shell Oil, setelah itu ditunjuk langsung jadi deputy perencanaan SKK Migas pada tahun 2017.

Seluruh praktisi industri Migas tahu bahwa pengalaman tersebut hanya seperti fresh graduate saja, tidak cukup untuk memimpin industri Migas sebesar blok Rokan dengan operasi yang sangat komplek.

Karena kedekatan dgn AT yang didukung LBP ini diisukan Jaffe dipilih menjadi Dirut PHR, kalau mau melihat lebih dalam sangat banyak sekali praktisi perminyakan yang sudah 20 tahunan lebih dan memang bekerja di indsutri migas yang kapable memimpin blok Rokan baik dari Chevron (CPI) sendiri maupun dari Pertamina.

Dirut PHR Yudantoro sudah melakukan transisi selama 2 tahun lebih dalam alih kelola blok Rokan, dan sudah berpengalaman lebih dari 30 tahun di Oil Gas industri, dengan track record pernah menjadi direktur dan Vp Pertamina di berbagai Area.

Jaffe Suardin sendiri tidak pernah memimpin langsung daerah operasi Migas, sangat tidak capable untuk memimpin blok Rokan, sebaiknya Presiden RI membatalkan penunjukan Jaffe yang syarat KKN dan kepentingan ini dan tanpa fit and propert test.

Jika syarat jadi dirut PHR hanya lulusan luar negeri, sangat banyak praktisi migas dan dosen yang PHD luar negeri dan sudah proven, tapi tentunya pengalaman akademis saja tidak cukup tanpa pengalaman operasional. Pengalaman Jaffe hanya bersiifat administratif, seharusnya beliau belajar menjadi General manager operation dulu di area Migas sebelum menjadi Dirut PHR.

Sementara Jafee diisukan dalam memimpin di SKK Migas saja tidak berhasil dan cenderung banyak belajar kepada staf di SKK migas. Leadership yang egosentris menjadikan Jaffe dianggap sok tahu di industri ini, termasuk target produksi Migas 1 juta barel yang tidak berlandaskan data ilmiah juga berasal dari dia, dan hal ini banyak ditentang oleh ahli migas tanah air, seperti Andang Bachtiar.

Sebaiknya pemerintah tetap mempertahankan alih kelola ini sampai selesai 8 Agustus 2021 dan setelah berjalan 6 bulan - 1 tahun baru dilakukan seleksi dirut PHR yang kompeten dan kapable.

Jafee menurut info dari Shelll Oil *"he just one of engineer as other else,* hanya karena kedekatan dengan AT dan Meneg ESDM maka bisa mendadak diangkat menjadi deputy SKK Migas. Jika seperti ini proses pemilihan pimpinan BUMN dan pengelolaan Migas tanah air, maka yakinlah produksi blok Rokan akan tambah anjlok. Dan pemerintah berspekulasi terhadap produksi minyak nasional dengan memilih pemimpin yang kurang pengalaman. (Rilis)